Selasa, 07 Juni 2011

pengaruh pH dan inhibitor aktivitas enzim

I. TUJUAN
Memahami pengaruh pH dan inhibitor aktivitas enzim
II. TEORI DASAR
Enzim adalah protein yang berperan sebagai katalis dalam metabolisme makhluk hidup. Enzim berperan untuk mempercepat reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, tetapi enzim itu sendiri tidak ikut bereaksi. Oleh sebab itu enzim disebut sebagai salah satu katalisator alami. Enzim terdiri dari apoenzim dan gugus prostetik. Apoenzim adalah bagian enzim yang tersusun atas protein. Gugus prostetik adalah bagian enzim yang tidak tersusun atas protein. Gugus prostetik dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu koenzim (tersusun dari bahan organik) dan kofaktor (tersusun dari bahan anorganik). Enzim tak hanya ditemukan dalam sel-sel manusia dan hewan, namun sel-sel tumbuhan juga memiliki enzim sebagai salah satu komponen metabolismenya.
Enzim katalase merupakan salah satu enzim yang terdapat pada tumbuhan. Enzim diproduksi oleh peroksisom dan aktif dalam melakukan reaksi oksidatif bahan-bahan yang dianggap toksik oleh tanaman, seperti hidrogen peroksida (H2O2). Enzim katalase termasuk ke dalam golongan desmolase, yaitu enzim yang dapat memecahkan ikatan C-C atau C-N pada substrat yang diikatnya. Cara kerja enzim dapat dijelaskan dalam dua teori, yaitu: Teori kunci dan gembok (enzim bekerja sangat spesifik. Enzim dan substrat memiliki bentuk geometri komplemen yang sama persis sehingga bisa saling melekat) dan teori ketepatan induksi (enzim tidak merupakan struktur yang spesifik melainkan struktur yang fleksibel. Bentuk sisi aktif enzim hanya menyerupai substrat. Ketika substrat melekat pada sisi aktif enzim, sisi aktif enzim berubah bentuk untuk menyerupai substrat). Namun dalam implementasinya, teori pertama yang dianggap paling sesuai dalam menjelaskan cara kerja enzim
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pH, tempratur, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, kosentrasi produk reaksi, konsentrasi garam anorganik, aktivitor dan inhibitor. Masing-masing faktor tersebut harus dikendalikan dengan sebaik-baiknya untuk menghasilkan hasilyang optimal.




III. ALAT DAN BAHAN
• ALAT :
Stop watch
Water bath 38ºC
Tabung reaksi
Pipet ukur 1 ml, 5 ml, 10 ml
Pipet tetes
Batang pengaduk
Penangas air 38ºC
• BAHAN :
Larutan buffer pH 8, 7.4, 6.8, 6, dan 5.2
Larutan amilum 1 %
Larutan Natrium Klorida 0.1 M
Larutan Saliva ( 1 : 9 )
Aquadest
Larutan Iodine
Larutan Toluen
Kloroform
Larutan Merkuri Klorat 1 %
Larutan Phenol 2 %
Natrium Florida
Larutan Benedict
NaCl 1 M
Iodine 0.01 M

IV. PROSEDUR PERCOBAAN
NO. PROSEDUR PENGAMATAN
4.1 Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim
 Siapkan 10 ml larutan buffer dengan pH 8, 7.4, 6.8, 6 dan 5.2 dalam tabung reaksi yang terpisah.

8 7,4 6,8 6 5,2



Ditambahkan 5 ml larutan amilum 1 %, 2 ml larutan natrium klorida 0.1 M dan 2 ml larutan saliva (1:9) pada tiap tabung reaksi.




Setelah ditambahkan

 Ditempatkan tabung reaksi dalam water bath 380 C selama 10 menit.
 Ditambahkan larutan iodine secukupnya pada tiap tabung reaksi sedikit demi sedikit.





Setelah ( + ) Iodine

 Amati dan catat perubahan yang terjadi.
 Tentukan tabung mana yang pertama kali mencapai titik akromik (tidak memberikan warna dengan iodine) !
 Tabung dengan pH 8 dan 7.4 sebaiknya diasamkan dengan ditambahkan asam asetat sedikit demi sedikit sebelum ditambahkan iodine.
7,4 8




AMATI • pH 5,2 warna biru tua
• pH 6 warna biru agak muda
• pH 6 setelah ditambahkan asetat + pH 8 warna biru palin tua
• pH 7,4 warna biru tua
4.2 Pengaruh inhibitor terhadap aktivitas enzim
Larutkan 2 ml saliva dengan 8 ml aquadest, campurkan dengan baik.




Larutan Saliva
 Tambahkan 1 ml larutan saliva yang telah diencerkan pada tiap
tabung reaksi yang berbeda sejumlah 6 tabung.


1 ml saliva





 Pada tabung yang terpisah ditambahkan 5 tetes larutan toluen, 5 tetes kloroform, 5 tetes larutan merkuri klorida 1%, 5 tetes larutan phenol 2%, 0,5 gram natrium florida dan 5 tetes aquadest.

Toluen kloroform HgCl phenol NaF aquadest




( ditaruh tabung tersebut pada rak tabung selama 10 menit sambil sesekali digojok perlahan-lahan )
 Tambahkan 5 ml larutan amilum 1% pada tiap tabung reaksi.
(+) Amilum 1 %

Toluen kloroform HgCl phenol NaF aquadest





 Tempatkan tiap-tiap tabung tersebut dalam water bath 380 C selama 15 menit.
 Bagi masing-masing tabung menjadi dua bagian untuk dilakukan uji iodine dan Benedict.
uji Benedict uji Iodine



 Catat dan amati perubahan yang terjadi ! • tabung 1 (+) toluen warna tetap bening
• tabung 2 (+) kloroform warna tetap bening
• tabung 3 (+) HgCl warna tetap bening
• tabung 4 (+) phenol warna tetap bening
• tabung 5 (+) natrium florida warna bening dan dibawahnya terdapat endapan
• tabung 6 (+) aquadest warna tetap bening
• semua tabung setelah ditambahkan amylum larutan menjadi keruh
• tabung 1 (+) 3 tetes iodine pertama warna bening terdapat endapan dibawhnya
• tabung 2 (+) 3 tetes iodine pertama warna bening
• tabung 3 (+) 3 tetes iodine pertama warna menjadi orange
• tabung 4 (+) 3 tetes iodine pertama warna bening
• tabung 5 (+) 3 tetes iodine pertama warna bening
• tabung 6 (+) 3 tetes iodine pertama warna menjadi kuning
3 tetes iodine teakhir
• tabung 1 warna bening terdapat endapan berwarna pink
• tabung 2 warna bening kekuning kuningan
• tabung 3 warna mejadi biru
• tabung 4 warna tetap bening
• tabung 5 warna tetap bening
• tabung 6 warna menjadi kuning
• (+) benedict warna larutan semua tabung biru
Setelah dipanaskan
• Tabung 1 warna hijau kebiruan
• Tabung 2 warna hijau
• Tabung 3 tetap berwarna biru
• Tabung 4 berwarna hijau kebiruan
• Tabung 5 berwarna hijau terdapat ada endapan
• Tabung 6 warna hijaun kebiruan
4.3 Uji kuantitatif enzim ptyalin
• Dicampurkan 2 ml NaCl 0,1 M dengan 10 ml larutan amilum 1 %


Disimpan dalam penangas
(+) larutan saliva ( 1:9 )
• 8 tabung berisi 3 ml aquadest dan 3 tetes Iodine 0,01 M
tabung 1
(+) 2 tetes larutan A

tabung 2
(+) 1 tetes aquadest dan
2 tetes larutan A
tabung 3
(+) 2 tetes aquadest dan 2
Tetes larutan A
• Pengenceran dilakukan bertahap pada tabung 4 samapi 8
• Tetntukan amilase yang terkandung
• Setelah 22 menit larutan pada tabung warna tidak berubah atau tetap kecuali pada tabung ke 3 lebih bening

V. PEMBAHASAN
Enzim katalase adalah salah satu jenis enzim yang umum ditemui di dalam sel-sel makhluk hidup, salah satunya adalah sel tumbuhan. Enzim katalase adalah enzim perombak hidrogen peroksida yang bersifat racun dan merupakan sisa/hasil sampingan dari metabolism. Apabila H2O2 tidak diuraikan oleh enzim ini, maka akan menyebabkan kematian pada sel-sel tumbuhan. Oleh sebab itu, enzim ini bekerja dengan merombak H2O2 menjadi substansi yang tidak berbahaya,yaitu berupa air dan oksigen. Selain bekerja secara spesifik pada substrat tertentu, enzim juga bersifat termolabil (rentan terhadap perubahan suhu) serta merupakan suatu senyawa golongan protein. Pengaruh temperatur terlihat sangat jelas, karena dapat merusak enzim dan membuatnya terdenaturasi seperti protein kebanyakan.
Praktikum ini membahas mengenai pengaruh pH terhadap aktivitas enzim katalase. Aktivitas tersebut dapat diukur berdasarkan volume oksigen yang dihasilkan dari pencampuran suspensi tanaman kacang hijau yang ditambahkan dengan H2O2. Oksigen yang dihasilkan ini kemudian ditampung didalam sebuah gelas ukur berisi air sehingga dapat ditentukan volumenya. Melalui tabel hasil pengamatan, terlihat bahwa volume oksigen tertinggi adalah pada Ph 7,8 yakni sebesar 4,4 ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa enzim katalase mampu bekerja secara optimum pada pH yang cenderung basa (basa lemah). Menurut literatur, enzim katalase akan bekerja maksimum pada pH netral, yakni pH 7. Maka pada pH yang asam maupun basa, kapasitas enzim katalase untuk menguraikan H2O2 akan berkurang secara signifikan. Bahkan pada pH tertentu enzim akan berhenti bekerja samasekali. Oleh sebab itu, hasil percobaan kali ini dikatakan kurang sesuai dengan literatur yang ada. Ketidak sesuaian hasil yang praktikan dapatkan dapat dipacu oleh beberapa hal, antara lain: suspensi kacang hijau yang tidak hancur sempurna (enzim katalase belum seluruhnya terekstrak dari sel karena penghancuran sel yang tidak optimum), pengocokan tabung reaksi besar yang kurang kuat, kebocoran sumbat karet tabung reaksi besar dan selang plastik, serta udara yang terperangkap di bagian atas gelas ukur sewaktu dibalikkan. Enzim katalase pada tumbuhan terdapat paling banyak di bagian batang dan daun, khususnya pada sel-sel yang telah dewasa dan memiliki peroksisom sebagai penghasil utama enzim tersebut.
Selain pH, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kerja enzim adalah : suhu, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, adanya aktivator serta inhibitor. Semakin tinggi konsentrasi substarat dan konsentrasi enzim, maka kinerja enzim akan meningkat. Namun pada kondisi tertentu (maksimum) kinerja ini tidak dapat dipercepat kembali. Aktivator merupakan zat yang memicu kerja enzim, sedangakan inhibitor justru akan menghambat kerja enzim.
Enzim tertentu dapat bekerja secara optimal pada kondisi tertentu pula. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja enzim adalah sebagai berikut:
• Suhu
Sebagian besar enzim mempunyai suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel organisme tersebut. Suhu optimum enzim pada hewan poikilotermik di daerah dingin biasanya lebih rendah daripada enzim pada hewan homeotermik. Contohnya, suhu optimum enzim pada manusia adalah 37 ºC, sedangkan pada katak adalah 25 ºC
Kenaikan suhu di atas suhu optimum dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan aktivitas enzim. Secara umum, tiap kenaikan suhu 10 ºC, kecepatan reaksi menjadi dua kali lipat dalam batas suhu yang wajar. Hal tersebut juga berlaku pada enzim. Panas yang ditimbulkan akibat kenaikan suhu dapat mempercepat reaksi sehingga kecepatan molekul meningkat. Hasilnya adalah frekuensi dan daya tumbukan molekuler juga meningkat.
Akibat kenaikan suhu dalam batas tidak wajar, terjadi perubahan struktur enzim (denaturasi). Enzim yang terdenaturasi akan kehilangan kemampuan katalisnya. Sebagian besar enzim mengalami denaturasi yang tidak dapat balik pada suhu 55-65 ºC. Enzim yang secara fisik telah rusak biasanya tidak dapat diperbaiki lagi. Hal tersebut merupakan salah satu alasan bahwa enzim lebih aman dimakan pada makanan yang sudah dimasak.Khususnya daging dan telur daripada makanan mentah.
Pengontrolan panas terhadap susu dan makanan dengan bahan susu lainya secara dramatis mengurangi penyebaran penyakit seperti TBC. Pada suhu kurang dari suhu optimum, aktivitas enzim mengalami penurunan. Enzim masih beraktivitas pada suhu kurang dari 0ºC dan aktivitasnya hampir terhenti pada suhu 196º C.
• pH atau Keasaman
Seluruh enzim peka terhadap perubahan derajat keasaman (pH). Enzim menjadi nonaktif bila diperlakukan pada asam basa yang sangat kuat. Sebagian besar enzim dapat bekerja paling efektif pada kisaran pH lingkungan yang agak sempit. Diluar pH optimum tersebut, kenaikan atau penurunan pH menyebabkan penurunan aktivitas enzim dengan cepat. Misalnya, enzim pencerna dilambung mempunyai pH optimum 2 sehingga hanya dapat bekerja pada kondisi sangat asam. Sebaliknya, enzim pencerna protein yang dihasilkan pankreas mempunyai pH Optimum 8,5 . Kebanyakan enzim intrasel mempunyai pH optimum sekitar 7,0 (netral).
Pengaruh pH terhadap kerja enzim dapat terdeteksi karena enzim terdiri atas protein. Jumlah muatan positif dan negative yang terkandung didalam molekul protein serta bentuk permukaan protein sebagian ditentukan oleh pH.
• Konsentrasi Enzim, Substrat dan Kofaktor.
Jika pH dan suhu suatu sistem enzim dalam keadaan konstan serta jumlah substrat berlebihan, laju reaksi adalah sebanding dengan enzim yang ada. Jika pH, suhu, dan konsentrasi enzim dalam keadaan konstan, reaksi awal hingga batas tertentu sebanding dengan substrat yang ada. Jika sistem enzim memerlukan suatu koenzim atau ion kofaktor , konsentrasi subsrat dapat menentukan laju keseluruhan sistem enzim.
• Inhibitor Enzim
Enzim dapat dihambat sementara atau tetap oleh inhibitor berupa zat kimia tertentu. Zat kimia tersebut merupakan senyawa selain substrat yang biasa terikat pada sisi aktif enzim (substrat normal) sehingga antara substrat dan inhibitor terjadi persaingan untuk mendapatkan sisi aktif . Persaingan tersebut terjadi karena inhibitor biasanya mempunyai kemiripan kimiawi dengan substrat normal. Pada konsentrasi Substrat yang rendah akan terlihat dampak inhibitor terhadap laju reaksi, kondisi tersebut berbalik bila konsentrasi substrat naik.
VI KESIMPULAN
o pH optimum untuk aktivitas enzim melalui percobaan uji pengaruh pH terhadap aktivitas enzim didapat pada pH 6.
o Berdasarkan percobaan pengaruh inhibitor terhadap aktivitas enzim, ditemukan bahwa HgCl merupakan inhibitor yang paling bai, sedang phenol merupaka inhibitor yang paling buruk.
o Pada uji asam tabung pada pH tertentu pHnya berubah menjadi netral atau asam.
o Pada perc 1 pada pngaruh pH tabung yang berisi bermacam macam pH warna berubah menjadi biru semua tetapi ada yang pekat dan ada yang muda.
o pada uji Iodine larutan berubah warna
o pada uji benedict warna asl biru setelah dipanaskan warna menjadi hijau








VII. DAFTAR PUSTAKA
• Pujiadi, Anna. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta : UI Press
• Fessenden, Ralph J. 1997. Fundamentals of OrganicChemistry. Jakarta :
Binarupa Aksara
• Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
• Murrey, Robert K. 2002. Biokimia. Jakarta : Harper Ecg

makalah paratiroid

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol dan memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling berhubungan, namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Misalnya, medulla adrenal dan kelenjar hipofise posterior yang mempunyai asal dari saraf (neural). Jika keduanya dihancurkan atau diangkat, maka fungsi dari kedua kelenjar ini sebagian diambil alih oleh sistem saraf. Bila sistem endokrin umumnya bekerja melalui hormon, maka sistem saraf bekerja melalui neurotransmiter yang dihasilkan oleh ujung-ujung saraf. Sistem endokrin melibatkan kelenjar endokrin dan hormon. Sistem hormone (sistem endoklin = sistem kelenjar buntu) yaitu sistem yang terdiri atas kelenjar-kelenjar yang melepaskan sekresinya ke dalam darah. Hormon berperan dalam pengaturan metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, mempertahankan homeostasis, reaksi terhadap stress, dan tingkah laku.
1.2 Hormon dan fungsinya
Kata hormon berasal dari bahasa Yunani hormon yang artinya membuat gerakan atau membangkitkan. Hormon mengatur berbagai proses yang mengatur kehidupan. Sistem endokrin mempunyai lima fungsi umum :
1. Membedakan sistem saraf dan sistem reproduktif pada janin yang sedang berkembang
2. Menstimulasi urutan perkembangan
3. Mengkoordinasi sistem reproduktif
4. Memelihara lingkungan internal optimal
5. Melakukan respons korektif dan adaptif ketika terjadi situasi darurat
1.3 Klasifikasi dan Karateristik hormon
Dalam hal struktur kimianya, hormon diklasifikasikan sebagai hormon yang larut dalam air atau yang larut dalam lemak. Hormon yang larut dalam air termasuk polipeptida (mis., insulin, glukagon, hormon adrenokortikotropik (ACTH), gastrin) dan katekolamin (mis., dopamin, norepinefrin, epinefrin). Hormon yang larut dalam lemak termasuk steroid (mis., estrogen, progesteron, testosteron, glukokortikoid, aldosteron) dan tironin (mis., tiroksin). Hormon yang larut dalam air bekerja melalui sistem mesenger-kedua, sementara hormon steroid dapat menembus membran sel dengan bebas.
Meskipun setiap hormon adalah unik dan mempunyai fungsi dan struktur tersendiri, namun semua hormon mempunyai karakteristik berikut.Hormon disekresi dalam salah satu dari tiga pola berikut:
1. sekresi diurnal adalah pola yang naik dan turun dalam periode 24 jam. Kortisol adalah contoh hormon diurnal. Kadar kortisol meningkat pada pagi hari dan turun pada malam hari.
2. Pola sekresi hormonal pulsatif dan siklik naik turun sepanjang waktu tertentu, seperti bulanan. Estrogen adalah non siklik dengan puncak dan lembahnya menyebabkan siklus menstruasi.
3. Tipe sekresi hormonal yang ketiga adalah variabel dan tergantung pada kadar subtrat lainnya. Hormon paratiroid disekresi dalam berespons terhadap kadar kalsium serum. Hormon bekerja dalam sistem umpan balik. Loop umpan balik dapat positif atau negatif dan memungkinkan tubuh untuk dipertahankan dalam situasi lingkungan optimal. Hormon mengontrol laju aktivitas selular. Hormon tidak mengawali perubahan biokimia. Hormon hanya mempegaruhi sel-sel yang mengandung reseptor yang sesuai, yang melalukan : fungsi spesifik. Hormon mempunyai fungsi dependen dan interdependen. Pelepasan hormon dari satu kelenjar sering merangsang pelepasan hormone dari kelenjar lainnya. Hormone secara konstan di reactivated oleh hepar atau mekanisme lain dan diekskresi oleh ginjal.
1.4 Struktur
Terdapat dua tipe kelenjar yang mengeluarkan hormon yaitu eksokrin dan endokrin. Kelenjar eksokrin melepaskan sekresinya ke dalam duktus pada permukaan tubuh, seperti kulit, atau organ internal, seperti lapisan traktus intestinal. Kelenjar endokrin termasuk hepar, pankreas (kelenjar eksokrin dan endokrin), payudara, dan kelenjar lakrimalis untuk air mata. Sebaliknya, kelenjar endokrin melepaskan sekresinya langsung ke dalam darah. Yang termasuk kelenjar endokrin adalah:
1. Pulau Langerhans pada Pankreas
2. Gonad (ovarium dan testis)
3. Kelenjar adrenal, hipofise, tiroid dan paratiroid, serta timus.








BAB II
ISI
2.1 Kelenjar Paratiroid
2.1.1 Struktur Kelenjar Paratiroid
Kelenjar paratiroid menempel pada bagian anterior dan posterior kedua lobus kelenjar tiroid oleh karenanya kelenjar paratiroid berjumlah empat buah. Kelenjar ini terdiri dari dua jenis sel yaitu chief cells dan oxyphill cells. Chief cells merupakan bagian terbesar dari kelenjar paratiroid, mensintesa dan mensekresi hormon paratiroid atau parathormon disingkat PTH.
2.1.2 Fungsi kelenjar Paratiroid dan Hormon Paratiroid
Kelenjar paratiroid mensekresikan hormon paratiroid atau parathormon disingkat PTH. Parathormon mengatur metabolisme kalsium dan posfat tubuh. Organ targetnya adalah tulang, ginjal dan usus kecil (duodenum). Terhadap tulang, PTH mempertahankan resorpsi tulang sehingga kalsium serum meningkat. Di tubulus ginjal, PTH mengaktifkan vitamin D. Dengan vitamin D yang aktif akan terjadi peningkatan absorpsi kalsium dan posfat dari intestin. Selain itu hormon inipun akan meningkatkan reabsorpsi Ca dan Mg di tubulus ginjal, meningkatkan pengeluaran Posfat, HCO3 dan Na. karena sebagian besar kalsium disimpan di tulang maka efek PTH lebih besar terhadap tulang.
Factor yang mengontrol sekresi PTH adalah kadar kalsium serum di samping tentunya PTSH Berikut ini adalah perbedaan antara hormon tiroid dan paratiroid.
Fungsi Hormon Paratiroid yaitu, mempertahankan fungsi kalsium pada cairan ekstrasel, melalui pengaturan absorbsi kalsium di ginjal dan mobilisasi kalsium di tulang. Sekresi HPT dipengaruhi kadar kalsium plasma. Bila kadar kalsium rendah (Hipokalsemia) maka sekresi HPT meningkat, begitu sebaliknya. Dimana fungsi kalsium untuk, proses pembekuan darah, kontraksi otot rangsa dan berperan dalam fungsi saraf.


2.1.3 Anatomi Hormon Paratiroid
Secara normal ada empat buah kelenjar paratiroid pada manusia, yang terletak tepat dibelakang kelenjar tiroid, dua tertanam di kutub superior kelenjar tiroid dan dua di kutub inferiornya. Namun, letak masing-masing paratiroid dan jumlahnya dapat cukup bervariasi, jaringan paratiroid kadang-kadang ditemukan di mediastinum.
Setiap kelenjar paratiroid panjangnya kira-kira 6 milimeter, lebar 3 milimeter, dan tebalnya dua millimeter dan memiliki gambaran makroskopik lemak coklat kehitaman. Kelenjar paratiroid sulit untuk ditemukan selama operasi tiroid karena kelenjar paratiroid sering tampak sebagai lobulus yang lain dari kelenjar tiroid. Dengan alasan ini, sebelum manfaat dari kelenjar ini diketahui, pada tiroidektomi total atau subtotals sering berakhir dengan pengangkatan kelenjar paratiroid juga.
Pengangkatan setengah bagian kelenjr paratiroid biasanya menyebabkan sedikit kelainan fisiologik. Akan tetapi, pengangkatan pengangkatan tiga atau empat kelenjar normal biasanya akan menyebabkan hipoparatiroidisme sementara. Tetapi bahkan sejumlah kecil dari jaringan paratiroid yang tinggal biasanya sudah mampu mengalami hipertrofi dengan cukup memuaskan sehingga dapat melakukan fungsi semua kelenjar. Kelenjar paratiroid orang dewasa terutama terutama mengandung sel utama (chief cell) yang mengandung apparatus Golgi yang mencolok plus retikulum endoplasma dan granula sekretorik yang mensintesis dan mensekresi hormon paratiroid (PTH). Sel oksifil yang lebih sedikit namun lebih besar mengandung granula oksifil dan sejumlah besar mitokondria dalam sitoplasmanya (Gbr. I.2). Pada manusia, sebelum pubertas hanya sedikit dijumpai, dan setelah itu jumlah sel ini meningkat seiring usia, tetapi pada sebagian besar binatang dan manusia muda, sel oksifil ini tidak ditemukan. Fungsi sel oksifil masih belum jelas, sel-sel ini mungkin merupakan modifikasi atau sisa sel utama yang tidak lagi mensekresi sejumlah hormon.
Sel darah merah Sel oksifil Sel utama (chief cell).
2.1.4 Sintesis dan Metabolisme Hormon Paratiroid (pth)
Hormon paratiroid (PTH) manusia adalah suatu polipeptida linear dengan berat molekul 9500 yang mengandung 84 residu asam amino (Gbr. I.3). Strukturnya sangat mirip dengan PTH sapi dan babi. PTH disintesis sebagai bagian dari suatu molekul yang lebih besar yang mengandung 115 residu asam amino (prapo-PTH). Setelah prapo-PTH masuk ke dalam retikulum endoplasma, maka leader sequence yang terdiri dari 25 residu asam amino dikeluarkan dari terminal N untuk membentuk polipeptida pro-PTH yang terdiri dari 90 asam amino. Enam residu asam amino lainnya juga dikeluarkan dari terminal N pro-PTH di apparatus Golgi, dan produk sekretorik utama chief cells adalah polipeptida PTH yang terdiri dari 84 asam amino.
Kadar normal PTH utuh dalam plasma adalah 10-55 pg/mL. Waktu paruh PTH kurang dari 20 menit, dan polipeptida yang disekresikan ini cepat diuraikan oleh sel-sel Kupffer di hati menjadi 2 polipeptida, sebuah fragmen terminal C yang tidak aktif secara biologis dengan berat molekul 2500.

2.1.5 Efek Hormon Paratiroid
PTH bekerja langsung pada tulang untuk meningkatkan resorpsi tulang dan memobilisasi Ca2+. Selain meningkatkan Ca2+ plasma dan menurunkan fosfat plasma, PTH meningkatkan ekskresi fosfat dalam urin. Efek fosfaturik ini disebabkan oleh penurunan reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal. PTH juga meningkatkan reabsorpsi Ca2+ di tubulus distal, walaupun ekskresi Ca2+ biasanya meningkat pada hiperparatiroidisme karena terjadi peningkatan jumlah yang difiltrasi yang melebihi efek reabsorpsi. PTH juga meningkatkan pembentukan 1,25 dihidroksikolekalsiferol, metabolit vitamin D yang secara fisiologis aktif. Hormon ini meningkatkan absorpsi Ca2+ dari usus, tetapi efek ini tampaknya disebabkan hanya akibat stimulasi pembentukan 1,25 dihidroksikolekalsiferol. Efek hormon paratiroid terhadap konsentrasi kalsium dan fosfat dalam cairan ekstraselular. Naiknya konsentrasi kalsium terutama disebabkan oleh dua efek berikut ini:
1. efek hormon paratiroid yang menyebabkan terjadinya absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang, dan
2. efek yang cepat dari hormon paratiroid dalam mengurangi ekskresi kalsium oleh ginjal. Sebaliknya berkurangnya konsentrasi fosfat disebabkan oleh efek yang sangat kuat dari hormon paratiroid terhadap ginjal dalam menyebabkan timbulnya ekskresi fosfat dari ginjal secara berlebihan, yang merupakan suatu efek yang cukup besar untuk mengatasi peningkatan absorpsi fosfat dri tulang.
Absorpsi Kalsium dan Fosfat dari tulang yang disebabkan oleh hormon paratiroid
Hormon paratiroid mempunyai dua efek pada tulang dalam menimbulkan absorpsi kalsium dan fosfat. Pertama merupakan suatu tahap cepat yang dimulai dalam waktu beberapa menit dan meningkat secara progresif dalam beberapa jam. Tahap ini diyakini disebabkan oleh aktivasi sel-sel tulang yang sudah ada (terutama osteosit) untuk meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat. Tahap yang kedua adalah tahap yang lebih lambat, dan membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu untuk menjadi berkembang penuh; fase ini disebabkan oleh adanya proses proliferasi osteoklas, yang diikuti dengan sangat meningkatnya reabsorpsi osteoklastik pada tulang sendiri, jadi bukan hanya absorpsi garam fosfat kalsium dari tulang. Fase cepat absorpsi kalsium dan fosfat (osteolisis) Bila disuntikan sejumlah besar hormon paratiroid, maka dalam waktu beberapa menit konsentrasi ion kalsium dalam darah akan meningkat, jauh sebelum setiap sel tulang yang baru dapat terbentuk. Hormon paratiroid dapat menyebabkan pemindahan garam-garam tulang dari dua tempat didalam tulang adalah dari matriks tulang disekitar osteosit yang terletak didalam tulangnya sendiri dan disekitar osteoblas yang terletak disepanjang permukaan tulang. Pada membran sel osteoblas dan osteosit memiliki protein reseptor untuk mengikat hormon paratiroid. Hormon paratiroid dapan mengaktifkan pompa kalsium dengan kuat, sehingga menyebabkan pemindahan garam-garam kalsium fosfat dengan cepat dari kristal tulang amorf yang terletak dekat dengan sel. Hormon paratiroid diyakini merangsang pompa ini dengan meningkatkan permeabilitas ion kalsium pada sisi cairan tulang dari membran osteositik, sehingga mempermudah difusi ion kalsium ke dalam membran sel cairan tulang. Selanjutnya pompa kalsium di sisi lain dari membran sel memindahkan ion kalsium yang tersisa tadi kedalam cairan ekstraselular.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
• Hormon paratiroid (PTH) adalah suatu polipeptida linear dengan berat molekul 9500 yang mengandung 84 residu asam amino.
• Efek hormon paratiroid yang menyebabkan terjadinya absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang dan efek yang cepat dari hormon paratiroid dalam mengurangi ekskresi kalsium oleh ginjal.
• Sekresi dari hormon paratiroid tergantung dari suatu negative feed-back mechanism yang diatur oleh kadar ion kalsium dalam plasma.
• Fungsi Hormon Paratiroid yaitu, mempertahankan fungsi kalsium pada cairan ekstrasel, melalui pengaturan absorbsi kalsium di ginjal dan mobilisasi kalsium di tulang.
• Sekresi HormonParatiroid dipengaruhi kadar kalsium plasma.
3.2 Daftar Pustaka
• Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC Penerbit Buku Kedokteran (hal.1318-1321)
• Gan gunawan s.,dkk.2007.farmakologi dan terapi edisi 5 .jakarta:departemen farmakologi dan terapeutik FKUI
• http//:www.google.com/hormon paratiroid/02 januari 2011

laporan disolusi

Modul 6
KECEPATAN DISOLUSI

TUJUAN PERCOBAAN
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu, untuk :
Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat
Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
Menggunakan alat penentu kecepatan disolusi

LANDASAN TEORI
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Dalam Bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau kelarutan sangat diperlukan untuk membantu memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang farmasi), dan lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian.
Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U. S. Pharmacopeia dan National Formulary, definisi kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut dimana akan larut 1 gram zat terlarut (Martin, 1990). Sediaan obat yang diberikan secara oral di dalam saluran cerna harus mengalami proses pelepasan dari sediaannya kemudian zat aktif akan melarut dan selanjutnya diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari sediaannya dan proses pelarutannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasi sediaannya. Salah satu sifat zat aktif yang penting untuk diperhatikan adalah kelarutan karena pada umumnya zat baru diabsorpsi setelah terlarut dalam cairan saluran cerna.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi.
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua tahap berturut-turut:
Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film disekitar partikel
Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair. tahap pertama, larutan berlangsung sangat singkat. tahap kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul- molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat, larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membran biologis serta absorpsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorpsi tersebut berlanjut. Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorpsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorpsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorpsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorpsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorpsi setelah pemberian oral, karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus.
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet.
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya zat aktif yang dapat terlarut persatuan waktu. Kecepatan disolusi merupakan suatu faktor penting yang menentukan seberapa besar suatu bahan aktif dapat diabsorpsi oleh tubuh.
Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Proses pelarutan zat ini dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut:
[dM/dt={((D.S)/h).(Cs-C) } ]
Dimana :
dM/dt = Kecepatan disolusi
D = Koefisien Difusi
S = Luas Permukaan Zat
Cs = Kelarutan zat padat
C = Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu t
h = tebal lapisan difusi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat antara lain :
Suhu; Dengan semakin meningginya suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.
Viskositas; Turunnya viskositas suatu pelarut, juga akan memperbesar kelarutan suatu zat.
PH pelarut; pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam (pH rendah) sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa (pH tinggi). Berikut persamaan untuk masing-masing senyawa, adalah:
Asam lemah :
[dC/dt=K.S.Cs(1+Ka/(H+)) ]

Basa Lemah :
[dC/dt=K.S.Cs(1+(H+)/Ka) ]

Ukuran partikel; Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat.
Polimorfisme dan sifat permukaan zat; Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme seperti struktur internal zat yang berlainan akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
Sifat fisika kimia obat yaitu sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut.
Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Bentuk kristal obat; Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal.
Faktor formulasi adalah berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.
Faktor alat dan kondisi lingkungan yaitu adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat.
Kecepatan pengadukan; Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.






Metode uji kecepatan disolusidapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
Metode Keranjang (Basket)
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37°C. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar.Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi (Agoes, 2008).
Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37°C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan.Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

MONOGRAFI ZAT AKTIF
Zat aktif yang digunakan pada saat praktikum adalah Asam Salisilat, dengan monografi sebagai berikut (Farmakope Indonesia, Ed. III, 1979. Hal 56) :
ACIDUM SALICYLICUM
Asam Salisilat


C7H6O3 BM 138,12
Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% C7H6O3 .
Pemerian Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna putih; hampir tidak berbau; rasa agak manis dan tajam.
Kelarutan Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%); mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P; larut dalam larutan amonium asetat P, dinatrium hidrogenfosfat P, kalium sitrat P dan natrium sitrat P.
Penetapan kadar Timbang seksama 3g, larutkan dalam 15ml etanol (95%) P hangat yang telah dinetralkan terhadap larutan merah fenol P, tambahkan 20ml air. Titrasi dengan natrium hidroksida 0,5N menggunakan indikator merah fenol P.
1ml natrium hidroksida 0,5N ≈ 69,06mg C7H6O3
Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat dan penggunaan Keratolitikum, antifungi.

ALAT DAN BAHAN
Alat
Gelas ukur 100 ml
Thermostat
Neraca analitik
Spatula
Pipet
Bahan
Asam salisilat
Aquadest
Kertas saring
Phenolftalen

PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN
Penimbangan
Asam salisilat percobaan pertama : 2,08 gram
Asam salisilat percobaan kedua : 2,00 gram
Asam salisilat pada percobaan ketiga : 2,02 gram
Asam salisilat pada percobaan keempat :

Perhitungan
Perhitungan konsentrasi larutan
C = N1 . V1 = N2 .V2
Pada suhu 32ºC

C1= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2 )/20
= 0.005 M
C5 = N2
N1 . V1 = N2 .V2

0,05 . 1 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 1)/20
= 0,oo25 M
C10 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 0,8 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 0,8)/20
= 0,002 M
C15 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,2)/20
= 0,0055 M
C20 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2)/20
= 0,005 M
C25 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,3 = N2 . 20
N_2=(0,05 x 2,3)/20
= 0,0058 M
C30 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,1 = N2 . 20
N_2=(0,05 x 2,1)/20
= 0,0053 M

Pada suhu 40ºC

C1= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 1,3 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 1,3 )/20
= 0,0033 M
C5= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,3 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,3 )/20
= 0,0058 M
C1o= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,5 )/20
= 0,0063 M
C15= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,7 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,7 )/20
= 0,0068 M
C20= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5,7 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5,7 )/20
= 0,0143 M
C25= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5,9 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5,9 )/20
= 0,0148 M
C30= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 7,8 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 7,8 )/20
= 0,0195 M

Pada kecepatan 100 rpm

C1= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 0,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 0,2 )/20
= 0,0005 M
C5= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 1,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 1,2 )/20
= 0,003 M
C10= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,5 )/20
= 0,0063 M
C15= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 4,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 4,2 )/20
= 0,0105 M
C20= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5 )/20
= 0,0125 M
C25= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5,4 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5,4 )/20
= 0,0135 M
C30= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 6,3 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 6,3 )/20
= 0,0158 M

Pada kecepatan 150 rpm

C1= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 0,5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 0,5 )/20
= 0,00125 M
C5= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 3,7 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 3,7 )/20
= 0,00925 M
C10= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 3,8 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 3,8 )/20
= 0,0095 M
C15= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 4,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 4,2 )/20
= 0,0105 M
C20= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 4,8 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 4,8 )/20
= 0,012 M
C25= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5 )/20
= 0,0125 M
C30= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 6,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 6,2 )/20
= 0,0155 M


Perhitungan nilai faktor koreksi (X)
Pada suhu 32ºC
1 menit = C1
5 menit
X_5=((C_5 x 900 )+(C_1 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=((0,0025 x 900 )+(0,005 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=(2,25+0,1)/900
X_5=0,0026

10 menit
X_10=((C_10 x 900 )+(X_5 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=((0,002 x 900 )+(0,0026 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=(1,8+0,052)/900
X_10=0,0021

15 menit
X_15=((C_15 x 900 )+(X_(10 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_15=((0,0055 x 900 )+(0,0021 x 20 mL))/(900 mL)
X_15=(4,95+0,042)/900
X_15=0,0055

20 menit
X_20=((C_20 x 900 )+(X_(15 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_20=((0,005 x 900 )+(0,0055 x 20 mL))/(900 mL)
X_20=(4,5+0,11)/900
X_20=0,0051

25 menit
X_25=((C_25 x 900 )+(X_(20 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_25=((0,0058 x 900 )+(0,0051 x 20 mL))/(900 mL)
X_25=(5,22+0,102)/900
X_25=0,0059

30 menit
X_30=((C_30 x 900 )+(X_(25 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_30=((0,0053 x 900 )+(0,0059 x 20 mL))/(900 mL)
X_30=(4,77+0,118)/900
X_30=0,0054

Pada suhu 40ºC
1 menit = C1
5 menit
X_5=((C_5 x 900 )+(C_(1 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_5=((0,0058 x 900 )+(0,0033 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=(5,22+0,066)/900
X_5=0,0059
10 menit
X_10=((C_10 x 900 )+(X_(5 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_10=((0,0063 x 900 )+(0,0059 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=(5,67+0,118)/900
X_10=0,0064

15 menit
X_15=((C_15 x 900 )+(X_(10 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_15=((0,0068 x 900 )+(0,0064 x 20 mL))/(900 mL)
X_15=(6,12+0,128)/900
X_15=0,0069

20 menit
X_20=((C_20 x 900 )+(X_(15 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_20=((0,0143 x 900 )+(0,0069 x 20 mL))/(900 mL)
X_20=(12,87+0,138)/900
X_20=0,0145

25 menit
X_25=((C_25 x 900 )+(X_(20 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_25=((0,0148 x 900 )+(0,0145 x 20 mL))/(900 mL)
X_25=(13,32+0,29)/900
X_25=0,015

30 menit
X_30=((C_30 x 900 )+(X_(25 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_30=((0,0195 x 900 )+(0,015 x 20 mL))/(900 mL)
X_30=(17,55+0,3)/900
X_30=0,0198

Pada kecepatan 100 rpm
1 menit = C1
5 menit
X_5=((C_5 x 900 )+(C_(1 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_5=((0,003 x 900 )+(0,0005 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=(2,7+0,01)/900
X_5=0,003

10 menit
X_10=((C_10 x 900 )+(X_(5 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_10=((0,0063 x 900 )+(0,003 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=(5,67+0,06)/900
X_10=0,0064

15 menit
X_15=((C_15 x 900 )+(X_(10 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_15=((0,0105 x 900 )+(0,0064 x 20 mL))/(900 mL)
X_15=(9,45+0,128)/900
X_15=0,0106

20 menit
X_20=((C_20 x 900 )+(X_(15 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_20=((0,0125 x 900 )+(0,0106 x 20 mL))/(900 mL)
X_20=(11,25+0,212)/900
X_20=0,0127

25 menit
X_25=((C_25 x 900 )+(X_(20 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_25=((0,0135 x 900 )+(0,0127 x 20 mL))/(900 mL)
X_25=(12,15+0,254)/900
X_25=0,0138

30 menit
X_30=((C_30 x 900 )+(X_(25 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_30=((0,0158 x 900 )+(0,0138 x 20 mL))/(900 mL)
X_30=(14,22+0,276)/900
X_30=0,016

Pada kecepatan 150 rpm
1 menit = C1
5 menit
X_5=((C_5 x 900 )+(C_(1 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_5=((0,00925 x 900 )+(0,00125 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=(8,325+0,025)/900
X_5=0,00927

10 menit
X_10=((C_10 x 900 )+(X_(5 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_10=((0,0095 x 900 )+(0,00927 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=(8,55+0,1854)/900
X_10=0,0097
15 menit
X_15=((C_15 x 900 )+(X_(10 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_15=((0,0105 x 900 )+(0,0097 x 20 mL))/(900 mL)
X_15=(9,45+0,194)/900
X_15=0,0107

20 menit
X_20=((C_20 x 900 )+(X_(15 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_20=((0,012 x 900 )+(0,0107 x 20 mL))/(900 mL)
X_20=(10,8+0,214)/900
X_20=0,012

25 menit
X_25=((C_25 x 900 )+(X_(20 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_25=((0,0125 x 900 )+(0,012 x 20 mL))/(900 mL)
X_25=(11,25+0,24)/900
X_25=0,0127

30 menit
X_30=((C_30 x 900 )+(X_(25 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_30=((0,0155 x 900 )+(0,0127 x 20 mL))/(900 mL)
X_30=(13,95+0,254)/900
X_30=0,0158



PROSEDUR KERJA
Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Disolusi Zat

Bejana diisi dengan 900ml air suling

Thermostat dipasangkan pada suhu 30oC

Jika suhu air didalam bejana sudah mencapai 3ooC

Dimasukka 2 gram Asam salisilat

Motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 50 rpm

Diambil sebanyak 20ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25, 30 setelah pengadukan

Setelah selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20ml air suling

Ditentukan kada asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan metode titrasi asam basa menggunakan NaOH 0,05N dan indicator Fenolftalein

Dilakukan koreksi kosentrasi asam salisilat yang diperoleh setiap selang waktu pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan sampel dengan air suling

Dilakukan percobaan yang sama pada suhu 400C untuk melihat pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi

Ditabelkan hasil yang diperoleh

Dibuat kurva antara kosentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu



Pengaruh Kecepatan Pengadukan Terhadap Kecepatan Disolusi Zat

Bejana diisi dengan 900ml air suling

Thermostat dipasang pada suhu 300C

Jika suhu air didalam bejana sudah mencapai 300C

Dimasukka 2 gram Asam salisilat

Motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 50 rpm

Diambil sebanyak 20ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25, 30 setelah pengadukan

Setelah selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20ml air suling

Ditentukan kada asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan metode titrasi asam basa menggunakan NaOH 0,05N dan indicator Fenolftalein

Dilakukan koreksi kosentrasi asam salisilat yang diperoleh setiap selang waktu pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan sampel dengan air suling

Dilakukan percobaan yang sama dengan kecepatan pengadukan 100 rpm dan 150 rpm untuk melihat pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi

Ditabelkan hasil yang diperoleh

Dibuat kurva antara kosentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu




HASIL PENGAMATAN
Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Disolusi Zat

t menit Volume NaOH Konsentrasi
asam salisilat Perubahan warna
320C 400C 320C 400C sebelum sesudah
1 2 mL 1,3 mL 0,005 M 0,0033 M Bening Merah Muda
5 1 mL 2,3 mL 0,0025 M 0,0058 M Bening Merah Muda
10 0,8 mL 2,5 mL 0,002 M 0,0063 M Bening Merah Muda
15 2,2 mL 2,7 mL 0,0055 M 0,0068 M Bening Merah Muda
20 2 mL 5,7 mL 0,005 M 0,0143 M Bening Merah Muda
25 2,3 mL 5,9 mL 0,0058 M 0,0148 M Bening Merah Muda
30 2,1 mL 7,8 mL 0,0053 M 0,0195 M Bening Merah Muda

Pengaruh Kecepatan Pengadukan Terhadap Kecepatan Disolusi Zat

t menit Volume NaOH konsentrasi
asam salisilat perubahan warna
100 rpm 150 rpm 100 rpm 150 rpm sebelum sesudah
1 0,2 mL 0,5 mL 0,0005 M 0,00125 M Bening merah muda
5 1,2 mL 3,7 mL 0,003 M 0,00925 M Bening merah muda
10 2,5 mL 3,8 mL 0,0063 M 0,0095 M Bening merah muda
15 4,2 mL 4,2 mL 0,0105 M 0,0105 M Bening merah muda
20 5,0 mL 4,8 mL 0,0125 M 0,012 M Bening merah muda
25 5,4 mL 5,0 mL 0,0135 M 0,0125 M Bening merah muda
30 6,3 mL 6,2 mL 0,0158 M 0,0155 M Bening merah muda






Kurva antara konsentrasi asam salisilat (C) dengan waktu (t)
Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi













Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi

















PEMBAHASAN
Pada percobaan yang telah dilakukan, untuk menguji kecepatan disolusi menggunakan alat disolusi tipe 2 yaitu tipe dayung. Alat ini terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparans lain yang inert, suatu motor berbenetuk dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian rupa dan Berputar dengan halus tanpa goncangan yang berarti. Serbuk yang akan diuji dimasukkan kedalam wadah sebelum dayung mulai berputar dan atur kecepatan dan suhu yang diinginkan.





Gambar : alat disolusi tipe 2

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi diantaranya adalah suhu dan kecepatan pengadukan. Hal ini terbukti setelah kita melakukan percobaan. Pengujian kecepatan disolusi dilakukan terhadap asam salisilat dalam air. Rumus molekul adalah C7H6O3 dan rumus strukturnya sebagai berikut (Anonim c, 1979):






Dari rumus struktur di atas, terlihat bahwa asam salisilat memiliki gugus polar dan gugus nonpolar. Gugus polar dari asam salisilat adalah gugus –OH dan gugus nonpolar pada asam salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam salisilat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Namun, karena memiliki gugus polar dan nonpolar sekaligus dalam satu gugus, asam salisilat sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau pelarut nonpolar saja. Asam salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut polar dan benzena yang merupakan pelarut nonpolar, tetapi mudah larut pada etanol dan eter yang merupakan pelarut semipolar (Anonim a, 1995).
Proses penentuan kecepatan disolusi asam salisilat dalam air diawali dengan menimbang asam salisilat sebanyak 2 gram yang kemudian dimasukkan ke dalam beaker dan ditambahkan dengan 900 mL air suling. Beaker diletakkan di bawah shaker dan motor penggerak dinyalakan dengan kecepatan dan suhu tertentu. Larutan diambil sebanyak 20 mL pada menit ke-1,5, 15, 20, 25, dan 30. Setiap pengambilan 20 mL larutan dari beaker, diimbangi dengan penambahan 20 mL air suling ke dalam beaker agar volume larutan konstan.
Kadar asam salisilat yang larut ditentukan dengan titrasi menggunakan NaOH 0,05 N sebagai pentiter dan fenolftalein 1 tetes sebagai indikator. Pada titik akhir titrasi, warna larutan asam salisilat akan berubah dari bening menjadi merah muda. Pada titik akhir titrasi, jumlah mol asam salisilat sama dengan jumlah mol NaOH. Reaksi yang terjadi selama proses titrasi adalah sebagai berikut.

Asam Salisilat + NaOH Natrium Salisilat + H2O

Dalam persamaan Einstein, suhu akan mempengaruhi koefisien disolusi. Perubahan koefisien disolusi akan mengubah kecepatan disolusi. Pada percobaan ini, suhu yang digunakan adalah 32 0c dan 40 0c yang seharusnya digunakan adalah 30 0c dan 40 0c. Hal ini disebabkan karena lamanya suhu mencapai 30 0c dan terbatasnya waktu. Dalam percobaan ini terbukti bahwa konsentrasi asam salisilat lebih tinggi pada suhu 40 0c dibandingkan pada suhu 32 0c. Peningkatan suhu akan memperbesar harga koefisien disolusi sehingga meningkatkan kecepatan disolusi. Kenaikan suhu akan mengakibatkan peningkatan energi kinetik baik pelarut ataupun zat terlarut. Untuk zat dalam padatan, kenaikan suhu akan memperkecil kekuatan ikatan intermolekul sehingga molekul padatan lebih mudah terbebaskan ke dalam larutan. Energi kinetik zat pelarut yang semakin besar akan memperbesar kemungkinan tumbukan dengan molekul zat padatan yang ada dipermukaan padatan. Tumbukan ini dapat menimbulkan interaksi antara pelarut dan padatan, yaitu adanya tarik-menarik. Gaya tarik-menarik ini bisa menyebabkan molekul dalam padatan terbawa ke dalam larutan. Karena kemungkinan tumbukan semakin tinggi akibat kenaikan suhu, penarikan molekul padatan menuju larutan akan semakin tinggi intensitasnya.














Grafik pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi

Sedangkan pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi dibuktikan dengan menggunakan kecepatan pada motor 50 rpm, 100 rpm, dan 150 rpm. Dari ke-3 kecepatan tersebut, konsentrasi asam salisilat pada kecepatan 150 rpm memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan kecepatan 50 rpm dan 100 rpm tapi hanya pada menit ke-1 sampai 10. Hal ini disebabkan oleh selain kecepatan pengadukan juga dipengaruhi lamanya pengadukan. Hal ini disebabkan karena pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm, laju disolusi asam salisilat dalam air lambat sehingga waktu yang dipelukan untuk menjenuhkan asam salisilat lebih lama. Karenanya konsentrasi asam salisilat dalam air semakin lama semakin meningkat. Jika percobaan dilanjutkan, maka konsentrasi asam salisilat semakin lama akan meningkat hingga tercapai keadaan jenuh dan konsentrasinya akan tetap karena kelarutan asam salisilat dalam air tebatas. Pada pengadukan dengan kecepatan 150 rpm, konsentrasi asam salisilat dalam air tidak banyak mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan karena laju disolusi yang besar sehingga mempercepat tercapainya kondisi dimana asam salisilat telah jenuh sehingga konsentrasi asam salisilat tidak banyak mengalami peningkatan. Dari sini dapat dilihat bahwa semakin cepat pengadukan semakin besar laju disolusi, begitu pula semakin lama dilakukan pengadukan semakin besar pula laju disolusi.
Sedangkan pada kecepatan 50 rpm tidak mengalami peningkatan yang konstan bahkan kadang mengalami penurunan konsentrasi asam salisilat, disebabkan pada saat melakukan titrasi bergantian sehingga mempengaruhi hasil dari titrasi. Sedangkan pada suhu 40 0c, 100 rpm, dan 150 rpm, titrasi dilakukan oleh 1 praktikan dan hasilnya meningkat dengan konstan.










Grafik pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi






















KESIMPULAN
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut.
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya zat aktif yang dapat larut persatuan waktu.
Beberapa hal yang mempengaruhi kecepatan disolusi, yaitu : kelarutan zat aktif, ukuran partikel, bentuk kristal obat, sifat permulaan zat, suhu, pH, viskositas, kecepatan pengadukan.
Faktor koreksi disolusi bertujuan untuk membendingkan nilai konsentrasi yang didapat sama dengan nilai koreksi.
Semakin tinggi suhu yang digunakan maka kecepatan disolusi semakin bertambah.
Semakin cepat kecepatan pengadukan yang digunakan, maka semakin cepat pula kecepatan disolusinya.
Rumus konsentrasi : V1 . N1 = V2 . N2
Rumus faktor koreksi (x) = (〖(C〗_m . 900)+(X_(n .) 20 mL))/(900 mL)
Pada suhu 40 0c menghasilkan nilai konsentrasi asam salisilat lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 32 0c.
Pengadukan dengan kecepatan 150 rpm menghasilkan konsentrasi asam salisilat yang lebih besar dibandingkan pada kecepatan 100 rpm karena pengadukan yang semakin cepat akan memperbesar laju disolusi.
Pada pengadukan dengan kecepatan 100 rpm, semakin lama pengadukan menghasilkan konsentrasi asam salisilat yang semakin besar karena semakin lama pengadukan, semakin besar pula laju disolusi.
Pada pengadukan dengan kecepatan 150 rpm, konsentrasi asam salisilat hanya mengalami peningkatan yang relatif tinggi pada menit ke-1, 5, dan 10, karena ada kemungkinan larutan asam salisilat yang terbentuk telah jenuh.






DAFTAR PUSTAKA
Anonim a. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Anonim c. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Kedua. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I & II. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Ditjen POM, (1979), “ Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, hal. 56
http://khahyun.wordpress.com/2010/12/03/disolusi-obat/ diakses pada tanggal 06/05/2011
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19649/4/Chapter%20II. pdf diakses pada tanggal 06/05/2011

laporan viskositas dan rheology

Modul 5
VISKOSITAS DAN RHEOLOGI
Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini, kita diharapkan mampu untuk :
Menerangkan arti viskositas dan rheologi
Membedakan cairan Newton dan cairan Non-Newton
Menggunakan alat-alat penentuan viskositas dan rheologi
Menentukan viskositas dan rheologi cairan Newton dan Non-Newton

Landasan Teori
Viskositas adalah ukuran tahanan (resistensi) dari suatu cairan untuk mengalir. Rheologi berasal dari bahasa Yunani yaitu rheo dan logos. Rheo berarti mengalir, dan logos berarti ilmu. Sehingga rheologi adalah ilmu yang mempelajari tentang aliran zat cair dan deformasi zat padat. Rheologi erat kaitannya dengan viskositas. Viskositas merupakan suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, semakin tinggi viskositas, semakin besar tahanannya untuk mengalir. Viskositas dinyatakan dalam simbol η.
Dalam bidang farmasi, prinsip-prinsip rheologi diaplikasikan dalam pembuatan krim, suspensi, emulsi, losion, pasta, penyalut tablet, dan lain-lain. Selain itu, prinsip rheologi digunakan juga untuk karakterisasi produk sediaan farmasi (dosage form) sebagai penjaminan kualitas yang sama untuk setiap batch. Rheologi juga meliputi pencampuran aliran dari bahan, penuangan, pengeluaran dari tube, atau pelewatan dari jarum suntik. Rheologi dari suatu zat tertentu dapat mempengaruhi penerimaan obat bagi pasien, stabilitas fisika obat, bahkan ketersediaan hayati dalam tubuh (bioavailability). Sehingga viskositas telah terbukti dapat mempengaruhi laju absorbsi obat dalam tubuh.
Dasar-dasar rheologi
Umumnya polietilen hasil polimerisasi di plant diberi tambahan additive dan dipelletizing menjadi bentuk pellet. Pellet tersebut selanjutnya siap untuk diproses menjadi berbagai macam bentuk seperti yang diinginkan dengan menggunakan mesin fabrikasi yang cocok. Selama fabrikasi plastik tersebut banyak dipengaruhi oleh kecepatan ekstrusi, setting temperature di tiap zone, melt pressure dll, yang kesemuanya sering disebut sebagai ‘processability’. Processability polietilen dari tinjauan rheologinya yaitu ilmu yang mempelajari aliran dan perubahan bentuk polietilen dalam keadaan lelehan serta sifat-sifat alirannya.
Aliran dan perubahan bentuk viscoelastik
a. Kekentalan (viscosity)
Fluida adalah persenyawaan yang mengalami deformasi (perubahan bentuk) secara kontinyu jika dikenakan shear stress. Resistensi yang dikeluarkan oleh fluida terhadap beberapa deformasi disebut viscositas. Untuk gas dan beberapa cairan dengan Berat Molekul yang rendah jika pada temperature dan tekanan tertentu viscositasnya tetap maka bahan tersebut dikenal sebagai fluida Newtonian.
b. Kekenyalan (Elastisitas)
Apabila sebuah pegas diberi tegangan yang besarnya sebanding dengan strain dan kemudian dilepaskan maka momennya akan segera dikembalikan dan tegangan menjadi hilang, sifat ini disebut ‘elastis’ dan benda yang mempunyai sifat ini disebut benda elastis dan dinyatakan dalam persamaan sbb,
s = E.g
Persamaan ini terkenal sebagai hukum Hooke, dimana;
s = Stress , E = Strain, g = Modulus Young
c. Viscoelastic
Sifat dari benda yang merupakan gabungan antara viscositas cairan (yang tidak menun-jukkan sifat elastisitas) dan elastisitas dari padatan (yang tidak menunjukkan kekentalan/ viscositas) disebut viscoelastis. Polietilen adalah salah satu benda yang bersifat viscoelastis.
Pergeseran Fluida
Mengalirnya fluida didalam istilah teknis dikenal dengan nama geseran fluida (Shear flow).
Didalam pergeseran fluida yang tetap ada 3 hal yaitu:
1. Tegangan geser (Shear stress)
dimana,
tyx = Tegangan geser (Shear stress)
F = Gaya
A = Luas penampang
2. Kecepatan geser (Shear rate)
dimana;
g = Kecepatan geser (Shear rate)
3. Kekentalan geser (Shear viscosity)
dimana,
m = Kekentalan geser (Shear viscosity)

Beberapa parameter yang berpengaruh terhadap Shear viscosity:
a. Melt Index
Melt index merupakan penggambaran/representasi dari Berat Molekul. Pada polietilen linear (tanpa percabangan rantai panjang) dengan peningkatan Berat Molekul atau penurunan Melt index maka akan terjadi penurunan pada Shear viscosity.

b. Percabangan rantai panjang (LCB)
Apabila Polietilen (PE) yang mempunyai rantai cabang panjang (LCB) dibandingkan dengan PE yang linear (tanpa LCB) maka akan terlihat bahwa PE dengan LCB mempunyai,
- Shear viscosity yang lebih rendah.
- Kecenderungan terjadinya melt fracture yang lebih rendah pada kecepatan geser yang tinggi.
- Konsumsi tenaga ekstrusi yang lebih rendah.


Model-model fluida
Fluida mempunyai sifat-sifat spesifik yang umumnya memenuhi model-model seperti berikut:
a. Model Newtonian
Contoh fluida yang memenuhi model ini adalah Air
Persamaan yang berlaku adalah
dimana :
tyx = shear stress
dVx/dy = shear rate
m = viskositas

b. Model Bingham
Contoh fluida yang memenuhi model ini adalah Pasta gigi
Persamaan yang berlaku adalah
dg syarat ltyxl > to

c. Model Perpangkatan (Power Law)
Contoh fluida yang memenuhi model ini adalah Polymer
Persamaan yang berlaku adalah
jika :
¨ n = 1 Newtonian dimana m=m
¨ n <> 1 Dilatant

Sifat bentuk lelehan
a. Swell Ratio
Disamping MI dan HLMI, sifat bentuk lelehan lain yang penting untuk Polietilen adalah swell ratio. Swell ratio ditentukan dengan mengukur diameter extruded yang sudah dingin yang keluar dari orifice pada waktu mengukur MI atau HLMI. Swell ratio digunakan sebagai index elastisitas lelehan. PE mempunyai kecenderungan semakin lebar Distribusi Berat Molekulnya dan semakin banyak jumlah cabang rantai panjangnya maka swell rationya semakin besar.

b. Melt fracture
Melt fracture terjadi jika polietilen diextrude pada kecepatan geser yang tinggi sehingga menyebabkan produk mempunyai permukaan yang tidak halus, bentuk tidak teratur dan extrusion tidak stabil. Melt fracture akan merusak kenampakan bentuk produk. Melt fracture dapat diukur dengan alat rheometer, atau mudahnya melt fracture dapat dilihat secara langsung pada permukaan lelehan yang sudah dingin. Tegangan yang menyebabkan terjadinya melt fracture disebut ‘tegangan geser kritis’ (sC) dan kecepatan geser pada waktu itu ‘kecepatan geser kritis’ (gc). Sementara hubungan antara tegangan geser kritis dan kecepatan geser kritis adalah
gc = sC / h
Kecepatan geser kritis dapat dinaikkan pada temperature yang sama yaitu dengan menurunkan viscositas lelehan (h) secara khusus, hal ini dapat dilakukan dengan meperlebar Distribusi Berat Molekulnya.

c. Melt Tension
Melt tension adalah tension/tegangan dari resin pada keadaan meleleh (bentuk extruded) dari orifice pada beban konstan, pengukuran dilakukan dengan menarik extruded pada kecepatan konstan. Melt tension merupakan fungsi MI atau Swell ratio dan nilainya akan meningkat seiring dengan pertambahan viscositas dan elastisitas. Secara khusus semakin rendah MI atau semakin lebar Distribusi BM nya maka semakin besar nilai melt tensionnya.

d. Draw Down
Batasan draw down paling seering digunakan pada pemrosesan pelapisan (coating process) untuk HDPE gejala ini ditunjukkan oleh exrtuded parison dari blow molding yang jatuh karena adanya gravitasi. Apabila harga draw down tinggi maka akan mengakibatkan distribusi tebal tidak merata pada sisi sebelah atas dan bawah dari produk. Hal ini menjadikan masalah pada pembuatan produk berukuran besar yang mana parison menjadi berat, draw down sangat erat berhubungan dengan melt tension

e. Spinnability
Hampir ada kemiripan antara melt tension dan spinability, melt tension merupakan besarnya tension dari resin dalam keadaan lelehan yang keluar dari orifice pada kecepatan pembebanan yang tetap. Sedangkan spinability adalah kecepatan untuk memutus resin jika ditarik pada percepatan yang tetap. Spinability sangat berguna pada industri monofilament, yaitu untuk mengetahui kecepatan pemrosesan tertinggi.
Penggolongan bahan menurut tipe aliran dan deformasi ada 2 yaitu Sistem Newton dan Sistem Non-Newton.

Sistem Newton
Viskositas mula-mula diselidiki oleh Newton, yaitu dengan mensimulasikan zat cair dalam bentuk tumpukan kartu seperti pada gambar berikut :



Zat cair diasumsikan terdiri dari lapisan-lapisan molekul yang sejajar satu sama lain. Lapisan terbawah tetap diam, sedangkan lapisan di atasnya bergerak dengan kecepatan konstan, sehingga setiap lapisan akan bergerak dengan kecepatan yang berbanding langsung dengan jaraknya terhadap lapisan terbawah yang tetap. Perbedaan kecepatan (dv) antara dua lapisan yang dipisahkan dengan jarak (dx) adalah (dv/dx) atau kecepatan geser (rate of share). Sedangkan gaya satuan luas yang dibutuhkan untuk mengalirkan zat cairan tersebut adalah (F’/A) atau Shearing stress.
F'/A=η dv/dx atau η=(F'⁄A)/(dv⁄dx)
Viskositas (η) merupakan perbandingan antara Shearing stress (F’/A) dan Rate of shear (dv/dx). Satuan viskositas adalah poise atau dyne detik cm -2.
Cairan Newton adalah cairan yang mengikuti hukum Newton di mana nilai shearing stress sebanding dengan nilai rate of shear (kecepatan geser), sehingga viskositasnya tetap pada suhu ddan tekanan tertentu dan tidak tergantung kepada kecepatan geser, jadi viskositasnya cukup ditentukan pada satu kecepatan geser.








Besarnya Rate of shear sebanding dengan Shearing stress.

Sistem Non-Newton
Hampir seluruh sistem dispersi termasuk sediaan-sediaan farmasi yang berbentuk emulsi,suspensi, dan sediaan setengah padat tidak mengikuti hukum Newton. Viskositas cairan semacam ini bervariasi pada setiap kecepatan geser, sehingga untuk mengetahui sifat alirannya dilakukan pengukuran pada beberapa kecepatan geser. Untuk menentukan viskositasnya dipergunakan viskometer rotasi Stormer. Berdasarkan grafik sifat alirannya (rheogram), cairan Non-Newton terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
Cairan yang sifat alirannya tidak dipengaruhi waktu (kurva naik berhimpit dengan kurva turun). Kelompok ini terbagi atas tiga jenis, yakni :
Aliran Plastik
Kurva aliran plastik tidak melalui titik (0,0) tapi memotong sumbu shearing stress (atau akan memotong jika bagian lurus dari kurva tersebut diekstrapolasikan ke sumbu) pada suatu titik tertentu yang dikenal dengan sebagai harga yield. Cairan plastik tidak akan mengalir sampai shearing stress dicapai sebesar yield value tersebut. Pada harga stress di bawah harga yield value, zat bertindak sebagi bahan elastis (meregang lalu kembali ke keadaan semula, tidak mengalir).
U=([(F'⁄(A)-f]))/(dv⁄dx)
Di mana :
U = viskositas plastik
f = yield value








Kurva aliran plastik
Aliran Pseudoplastik
Aliran pseudoplastik ditunjukkan oleh beberapa bahan farmasi yaitu gom alam dan sisntesis seperti dispersi cair dari tragacanth, natrium alginat, metil selulosa, dan natrium karboksimetil selulosa. Aliran pseudoplastik diperlihatkan oleh polimer-polimer dalam larutan, hal ini berkebalikan dengan sistem plastik, yang tersusun dari partikel-partikel tersuspensi dalam emulsi. Kurva untuk aliran pseudoplastis dimulai dari (0,0) , tidak ada yield value, dan bukan suatu harga tunggal.






Kurva aliran pseudoplastik

Aliran Dilatan
Aliran dilatan terjadi pada suspensi yang memiliki presentase zat padat terdispersi dengan konsentrasi tinggi. Terjadi peningkatan daya hambat untuk mengalir (viskositas) dengan meningkatnya rate of shear. Jika shearing stress dihilangkan, suatu sistem dilatan akan kembali ke keadaan fluiditas aslinya.








Kurva aliran dilatan

Cairan yang sifat alirannya dipengaruhi waktu (kurva naik tidak berhimpit dengan kurva turun). Kelompok ini terbagi atas tiga jenis, yakni :
Aliran Tiksotropik
Pada aliran tiksotropik, kurva menurun berada di sebelah kiri kurva naik. Fenomena ini umumnya dijumpai pada zat yang mempunyai aliran plastik dan pseudoplastik. Kondisi ini disebabkan karena terjadinya perubahan struktur yang tidak segera kembali ke keadaan semula pada saat tekanan geser diturunkan. Sifat aliran semacam ini umumnya terjadi pada partikel asimetrik (misalnya polimer) yang memiliki banyak titik kontak dan tersusun membentuk jaringan tiga dimensi. Pada keadaan diam, sistem akan membentuk gel dan bila diberi tekanan geser, gel akan berubah menjadi sol.







Kurva aliran tiksotropik

Aliran Rheopeksi
Pada aliran rheopeksi, kurva menurun berada di sebelah kanan kurva naik. Hal ini terjadi karena pengocokan perlahan dan teratur akan mempercepat pemadatan suatu sistem dilatan. Bentuk keseimbangan aliran rheopeksi adalah gel.





Kurva aliran rheopeksi
Aliran Antitiksotropik
Bila dilakukan pengukuran dengan penambahan dan penurunan tekanan geser secara berulang-ulang pada sistem ini akan diperoleh suatu viskositas yang terus bertambah sampai akhirnya suatu saat akan konstan.







Kurva aliran antitiksotropik

Metoda Penentu Viskositas Dan Rheologi
Viskosimeter Satu Titik
Viskosimeter ini bekerja pada titik kecepatan geser, sehingga hanya dihasilkan satu titik pada rheogram. Ekstrapolasi dari titik tersebut ke titik nol akan menghasilkan garislurus. Alat ini hanya dapat digunakan untuk menentukan viskositas cairan Newton.Yang termasuk dalam jenis ini misalnya viskosimeter kapiler, bola jatuh, penetrometer, plate plastometer ,dll.
Viskosimeter Titik Ganda
Dengan viskosimeter ini dapat dilakukan pengukuran pada beberapa harga kecepatan geser sehingga diperoleh rheogram yang sempurna. Viskosimeter jenis ini dapat juga digunakan baik untuk menentukan viskositas dan rheologi cairan Newton maupun Non-Newton. Yang termasuk ke dalam jenis viskosimeter ini adalah viskosimeter rotasi tipeStromer, Brookfield, Rotovisco, dll.

Alat Penentu Viskositas Dan Rheologi
Viskometer Hoeppler (Bola Jatuh)
Prinsip dari alat ini yaitu suatu bola gelas atau bola besi jatuh ke bawah dalam suatu tabung gelas yang hampir vertikal, mengandung cairan yang diuji pada temperatur konstan. Laju jatuhnya bola yang mempunyai kerapatan dan diameter tertentu adalah kebalikan fungsi viskositas sampel tersebut dapat dihitung dengan rumus :
ŋ = t (Sb – St) . B
Dimana :
ŋ = viskositas (poise)
t = waktu interval dalam detik
Sb = berat jenis dari bola
St = berat jenis dari cairan
B = konstanta untuk bola tertentu





Gambar : alat viscometer hoeppler

Viskometer rotasi (cup dan bob)
Dalam viskometer cup (mangkuk silinder) dan bob (silinder pemutar), sampel digeser dalam ruangan di antara dinding luar dari bob dan dinding dalam dari cup di mana bob masuk persis ditengah-tengahnya. Ada bermacam-macam alat tipe ini, yang perbedaannya terutama terletak pada putaran bob yang dihasilkan oleh cup atau bobnya sendiri yang berputaran. Dalam viskometer tipe couette, cupnya yang berputar. Tarikan sampel yang kental pada bob menyebabkannya berputar. Resultan putarannya berbanding lurus dengan viskositas sampel.
Viskometer Mac Michael adalah salah satu contoh dari alat tersebut di atas. Viskometer tipe Searle mempunyai prinsip cup-nya diam dan bob-nya berputar. Putaran yang dihasilkan oleh tarikan sistem yang kental yang diteliti pada umumnya diukur dengan satuan per atau sensor dalam batang penggerak yang berhubungan dengan bob. Contoh alat yang mempunyai prinsip demikian adalah Viskometer Rotovisco. Alat tersebut juga dapat dimodifikasikan agar bekerja sebagai suatu alat cone and plate. Viskometer yang populer yang kerjanya berdasarkan prinsip Searle adalah alat Stormer dan Brookfield.

Monografi Zat Aktif
Zat aktif yang digunakan pada saat praktikum adalah Gliserin, dengan monografi sebagai berikut (Farmakope Indonesia, Ed. IV, 1995. Hal 413) :

GLYCEROLUM
Gliserin

CH2OH – CHOH - CH2OH

Gliserol [56-81-5]
C3H8O3 BM 92,09

Gliserin mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 101,0% C3H8O3

Pemerian Cairan jernih seperti sirup, tidak berwarna; rasa manis; hanya boleh berbau khas lemah (tajam atau tidak enak). Higroskopik; netral terhadap lakmus.

Kelarutan Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol; tidak larut dalam klorofrom, dalam eter, dalam minyak lemak dan dalam minyak menguap.



Bobot jenis <981> Tidak kurang dari 1,249

Penetapan kadar Larutan natrium periodat Larutkan 60g natrium metaperiodat P dalam air yang mengandung 120 ml asam sulfat 0,1N hingga volume 1000 mL. tidak boleh dipanaskan. Jika larutan tidak jernih, sering melalui kaca masir. Simpan larutan dalam wadah tidak tembus cahaya, bersumbat kaca.

Wadah dan penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat.

Zat aktif yang digunakan pada saat praktikum adalah Propilen Glikol, dengan monografi sebagai berikut (Farmakope Indonesia, Ed. IV, 1995. Hal 712) :

PROPYLENGLYCOLUM
Propilen Glikol

CH3CH(OH)CH2OH

1,2-propanadiol ( 57-55-6 )
C3H8O2 BM 76.09

Propilen glikol mengandung tidak kurang dari 99.5 % C3H8O2

Pemerian Cairan kental,jernih,tidak berwarna;rasa khas;praktis tidak berbau;menyerap air pada udara lembab.

Kelarutan Dapat bercampur dengan air, dengan aseton, da dengan kloroform; larut dalam eter dan beberapa minyak esensial;tetapi tidak dapat bercampur dengan minyak lemak.

Bobot jenis <981> Antara 1,035 dan 1,037.

Penetapan kadar Lakukan penetapan dengan cara Kromatografi gas seperti yang tertera pada Kromatografi <931>. Kromatograf gas dilengkapi dengan detector konduktivitas panas, dan kolom 1 m x 4 mm berisi bahan pengisi 5% G16 pada partikel penyangga S5. Suhu injector dan defector, berturut-turut 240o, 250o, dan kenaikan suhu kolom diatur rata-rata 5o per menit mulai dari 120o hingga 200o; gunakan helium P sebagai gas pembawa. Waktu retensi untuk propilen glikol lebih kurang 5,7 menit dan untuk ke 3 isomer dipropilen glikol, jika ada, berturut-turut lebih kurang 8,2 menit, 9,0 menit, dan 10,2 menit.

Wadah dan penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat.

Zat aktif yang digunakan pada saat praktikum adalah Karboksimetilselulosa Natrium, dengan monografi sebagai berikut (Farmakope Indonesia, Ed. IV, 1995. Hal 175) :

CARBOXYMETHYLCELLULOSUM NATRIUM
Karboksimetilselulosa Natrium

Garam selulosa karboksimetil eter natrium [9004-32-4]

Karboksimetilselulosa Natrium adalah garam natrium dari polikarboksimetil eter selulosa, mengandung tidak kurang dari 6,5% dan tidak lebih dari 9,5%, natrium (Na) dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian Serbuk atau granul, putih sampai krem; higroskopik.

Kelarutan Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal; tidak larut dalam etanol, dalam eter dan dalam pelarut organic lain.

pH <1071> Antara 6,5 dan 8,5; lakukan penetapan menggunakan larutan (1 dalam 100).

Penetapan kadar Timbang seksama lebih kurang 500 mg, larutkan dalam 80 ml asam asetat glacial P, panaskan di atas tangan air mendidih selama 2 jam, dinginkan hingga suhu kamar dan titrasi dengan asam perklorat 0,1 N LV, tetapkan titik akhir secara potensiometrik
1 ml asam perklorat o,1 N setara dengan 2,299 mg Na

Wadah dan penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat.

Zat aktif yang digunakan pada saat praktikum adalah Serbuk Gom Arab, denganmonografi sebagai berikut (Farmakope Indonesia, Ed. IV, 1995. Hal 175) :

PULVIS GUMMI ACACIAE
Serbuk Gom Akasia
Serbuk Gom Arab

Serbuk Gom Akasia adalah Gom Akasia dalam bentuk serbuk.

Pemerian Serbuk, putih atau putih kekuningan; tidak berbau.

Kelarutan Larut hamper sempurna dalam air, tetapi sangat lambat, meninggalkan sisa bagian tanaman dalam jumlah sangat sedikit, dan memberikan cairan seperti musilago, tidak berwarna merah atau kekuningan, kental, lengket, transparan, bersifat asam lemah terhadap kertas lakmus biru; praktis tidak larut dalam etanol dan dalam eter.

Identifikasi Agar dan gom sterkulia, Agar dan tragakan, Pati dan destrin, Sakarosa dan fruktosa, Tanin, Zat tidak larut, Susut Pengeringan, Sisa pemijaran Memenuhi syarat yang tertera pada Gom Akasia.

Batas mikroba <51> Tidak boleh mengandung Escherichia coli; lakukan penetapan menggunakan 1,0 g.

Wadah dan penyimpanan Dalam wadah tertutup baik


Alat dan Bahan
Alat :

Gelas ukur 100 ml.
Viskometer Hoeppler.
Brookfield.
Spatula.
Piknometer.
Neraca Analitik.
Batang Pengaduk.
Penangas air.
Beaker glass 500 ml.
Kertas perkamen.
Stopwatch.
Mortir dan Stamper.
Corong kaca.
Botol semprot.

Bahan :
Gliserin.
Propylenglikol.
Sirupus simpleks.
CMC 1 %.
PGA 1%.
Aquadest.

Perhitungan dan Penimbangan
Perhitungan bahan
Sirupus simpleks = glukosa 65 gram + air 35 gram
CMC (Carboksil Metil Celulosa) 1 % = 5 gram CMC + 500 ml air
PGA (peteroyl glutamic acid) 1 % = 5 gram PGA + 500 mL air
Penimbangan bahan
Massa piknometer = 17,7 gram
Massa propylenglikol = 44,18 gram
Massa air = 42,66 gram
Massa sirupus simpleks = 49,233gram
Massa gliserin = 44,65 gram

Perhitungan bobot jenis
Gliserin = (44,65 -17,7)/(42,66-17,7)=1,0797 gram/cm3
Propylenglikol = (44,18-17,7)/(42,66-17,7)=1,061 gram/cm3
Sirupus simpleks = (49,233-17,7)/(42,66-17,7)=1,263 gram/cm3
Perhitungan viskositas pada bola jatuh
Rumus umum
η = t ( Bj bola + Bj cairan) B
Gliserin
η = 113, 04 (8,1 – 1,0797) 0,7
= 555, 5 cP
Propilenglikol
η = 129, 5 (2,2 – 1,061) x 0,09
= 13, 275 cP
Sirupus simpleks
η = 119, 78 x (2,2 – 1,263) x 0,09
= 10, 10 cP

Prosedur Kerja
Viscometer Hoeppler ( Bola Jatuh)
Dengan menggunakan viskometer Hoeppler, tentukan viskositas mutlak dari bermacam-macam cairan Newton.


Diisi dengan cairan yang akan diukur viskositasny sampai hampir penuh.
Masukan bola yang sesuai.
Cairan ditambahkan sampai penuh dan tutup sehingga tidak terdapat gelembung udara.


Dikembalikan bola ke posisi semula dengan cara membalikkan tabung.
Dicatat waktu tempuh bola melalui tabung mulai garis m1 sampai m3 dalam detik.
Ditentukan bobot jenis (BJ) cairan denganmenggunakan piknometer.


Catatan : Waktu pengukuran yang terbaik adalah minimum 30 detik dan maksimum 500 detik. Oleh karena itu perlu dilakukan bola yang cocok terlebih dahulu.

Viskositas Brookfield


Diturunkan sedemikian rupa, sehingga batas spindel tercelup ke dalam cairan yang akan diukur viskositasnya.
Dipasangkan stop kontak.
Dihidupkan motor sambil menekan tombol



Dicatat angka viskositas yang tertera pada alat.
Dengan mengubah-ubah rpm, akan diperoleh viskositas cairan pada berbagai rpm.





Hasil Pengamatan
1. Viskometer Hoeppler (Bola Jatuh)
Cairan Jenis Bola D ρb ρc B T η
Gliserin Nikon Iron Alloy 15,0 8,1 1,0979 0,7 113,04 555,5
Propilenglikol Boron Sillica Glass 15,3 2,2 1,061 0,09 129,5 13,275
Sirupus Simplex Boron Sillica Glass 15,3 2,2 1,263 0,09 119,78 10,10

2. Viskometer Brookfield
Gliserin
Spindle rpm
62 20 441 cP
30 444 cP
50 448,2 cP
60 448, 5 cP
100 E
63 20 390 cP
30 404 cP
50 410 cP
60 408 cP
100 420 cP
64 20 210 cP
30 300 cP
50 400 cP
60 370 cP
100 420 cP

PGA 1%
Spindle rpm
62 20 0 cP
30 0 cP
50 0 cP
60 4,5 cP
100 9,3 cP
63 20 0 cP
30 0 cP
50 0 cP
60 0 cP
100 7 cP
64 20 0 cP
30 0 cP
50 0 cP
60 0 cP
100 0 cP

CMC Na 1 %
Spindle rpm
62 20 96cP
30 120 cP
50 136,2 cP
60 130 cP
100 125,7 cP
63 20 96 cP
30 120 cP
50 120 cP
60 122 cP
100 131 cP
64 20 0 cP
30 120 cP
50 160 cP
60 170 cP
100 198 cP

GRAFIK
Gliserin

Spindel 62

Spindle 63

Spindle 64
Propilenglikol

Spindle 62


Spindle 63

Spindle 64
CMC Na 1%

Spindle 62

Spindle 63

Spindle 64

Pembahasan
Viskositas adalah ukuran resistensi zat cair untuk mengalir. Viskositas dapat berpengaruh pada formulasi sediaan-sediaan farmasi, misalnya pada sediaan suspensi, tidak boleh terlalu kental (viskositas tinggi) sehingga menyebabkan suspensi sulit dituangkan. Hal ini dapat menyebabkan distribusi zat aktif tidak merata pada seluruh cairan dan keterimaan pasien juga rendah.

Viskometer Bola Jatuh
Pada praktikum ini, dilakukan percobaan mengenai viskositas dari berbagai larutan, yaitu gliserin, propilen glikol, sirupus simpleks, PGA dan CMC Na 1%. Percobaan ini menggunakan alat viskometer bola jatuh atau viskometer Hoeppler. Viskometer ini digunakan untuk cairan yang mengikuti hukum Newton yaitu viskositasnya tetap pada suhu dan tekanan tertentu dan tidak bergantung pada kecepatan geser (Astuti dkk., 2007).
Pengaruh Bobot Jenis terhadap Viskositas
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dihitung viskositas dari tiap larutan. Setelah dilakukan perhitungan data diperoleh bahwa vikositas tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah gliserin, propilenglikol,dan sirupus simpleks. Sedangkan bobot jenis tertinggi adalah Sirupus simpleks, gliserin dan propilenglikol. Bobot jenis dapat mempengaruhi waktu tempuh bola untuk melalui 2 titik pada tabung, semakin tinggi berat jenis, maka waktu yang ditempuh bola akan semakin cepat. Hasil percobaan menunjukkan kesesuaian dengan literature, dimana sirupus simpleks yang bobot jenisnya lebih kecil dibandingkan dengan gliserin dan propilenglikol memiliki waktu tempuh yang paling lama yaitu 119, 78 detik.
Viskositas bola bergantung pada waktu tempuh bola dan jenis bola yang digunakan. Pada percobaan nilai viskositas paling tinggi adalah nilai viskositas gliserin, dan gliserin waktu tempuhnya lebih cepat dibandingkan zat lain. Sehingga semakin lama waktu temmpuh, maka viskositasnya semakin bsar, tetapi dipengaruhi oleh jenis bola yang digunakan.

Viskometer Brookfield
Dalam pengukuran viskometer titik ganda dengan viskometer Brookfield menggunakan cairan ( larutan ) gliserin, CMC Na dan PGA. Dari hasil percobaan cairan gliserin merupakan cairan Newton, karena gliserin memiliki viskositas konstan pada suhu dan tekanan konstan. Viscometer Brookfield ini dapat digunakan untuk cairan newton dan non newton. Gliserin merupakan cairan newton, sedangkan PGA dan CMC merupakan cairan non newton karena viskositasnya brbeda pada setiap kecepatan geser.
Pengaruh Putaran (rpm) terhadap viskositas
Pada percobaan ini, digunakan kecepatan putar yang berbeda-beda, yaitu dari mulai 20, 30, 50, 60 dan 100 rpm. Setelah dilakukan prcobaan pada larutan gliserin, sesuai dengan litratur, dimana semakin tinggi nilai rpm maka nilai viskositasnya semakin besar. Pada spindle 62 mulai dari rpm 20, 30, 50, 60 dan 100 viskositas secara berturut-turut adalah 441, 444, 448,2, 448, 5 cP. Pada rpm 100 alat , menunjukkan error, hal tersebut berarti alat tidak dapat membaca nilai viskositas pada kecepatan 100 rpm dan spindle 62, sehingga dapat dilakukan perubahan kecepatan atau perubahan spindle. Pada spindle 63 dengan kecepatan 20. 30, 50, 60 dan 100 viskositas secara berturut-turut adalah 390, 404, 410, 408, 420 cP. Terdapat kesalahan pada kecepatan 60 dimana nilai viskositas yang harusnya meningkat malah menurun, hal tersebut bias terjadi karena pengaruh salah pembacaan nilai viskositas ataupun salah dalam penggunaan alat. Pada spindle 64 dengan kecepatan 20. 30, 50, 60 dan 100 viskositas secara berturut-turut adalah 210, 300, 400, 370, dan 420 cP. Sama halnya seperti pada spindle 63, pada spindle 64 terdapat kesalahan pada kecepatan 60 dimana nilai viskositas yang harusnya meningkat malah menurun.
Pada larutan PGA setelah dilakukan pengukuran nilai viskositas didapat hasil yang sangat kecil. Viskositas larutan banyak yang menunjukkan nilai 0 dan viskositas paling tinggi berada pada kecepatan 100 rpm pada spindle 62 yaitu 9,3 cP. Hal tersebut terjadi karena larutan PGA memang jenis larutannya sangat encer, sehingga nilai viskositasnya kecil.
Pada larutan CMC terjadi ksesuaian antara literature dengan hasil percobaan, dimana semakin tinggi kecepatan putar (rpm), maka nilai viskositas semakin besar.
Pengaruh Spindel terhadap Kecepatan Putar
Pada percobaan ini, digunakan nomor spindle yang berbeda-bda, yaitu mulai dari nomor 62, 63, dan 64. Semakin tinggi nomor spindle, maka semakin besar alat pemutarnya dan berpengaruh terhadap nilai kecepatan putar (rpm).
Semakin besar spindle, maka semakin besar gaya yang diperlukan untuk memutar alat, sehingga kecepatan putar menurun dan nilai viskositas juga menurun. Hasil prcobaan menunjukkan kesesuaian dengan literature, dimana nilai viskositas pada spindle nomor 62 lebih besar daripada nilai viskositas pada spindle 63 dan 64.
Sifat Aliran Cairan
Berdasarkan grafik sifat alirannya, maka cairan yang non newton dibagi menjadi 2 yaitu cairan yang sifat alirannya tidak dipengaruhi waktu (aliran plastikn aliran pseudoplastik, dan aliran dilatan) serta cairan yang sifat alirannya dipengaruhi waktu (aliran tiksotropik, rheopeksi, dan antitiksotropik).
Larutan gliserin merupakan cairan newton yang tidak memiliki sifat alir, sedangkan PGA dan CMC merupakan cairan non newton yang memilik sifat alir. Pada larutan PGA setelah grafiknya dibandingkan dengan literature ternyata sifat alirannya adalah tidak dipengaruhi waktu yaitu aliran plastic. Pada aliran plastic, nilai viskositas berbanding lurus dengan nilai rpm, tetapi pada awalnya konstan dan kemudian grafiknya naik.


Grafik aliran plastic pada PGA hasil grafik aliran plastik
Percobaan dari literature

Pada larutan CMC setelah grafiknya dibandingkan dengan literature ternyata larutan CMC sifat alirannya juga tidak dipengaruhi waktu yaitu aliran dilatan. Dimana semakin tinggi nilai rpm, nilai viskositas juga semakin meningkat.


Grafik aliran dilatan CMC Grafik aliran dilatan dari literatur
Hasil percobaan




Kesimpulan

Alat yang digunakan untuk mengukur viskositas dan rheologi pada paraktikum adalah viskometer hoeppler dan brookfield.
Gliserin merupakan larutan Newton karena memiliki nilai viskositas yang konstan dan nilai viskositas tertinggi dibandingkan dengan propilenglikol dan sirupus simpleks, dan dipengaruhi oleh suhu dan tekanan tertentu.
Larutan CMC Na merupakan larutan Non-Newton karena memiliki nilai viskositas tidak konstan yang dipengaruhi oleh suhu dan tekanan tertentu dan merupakan aliran dilatan karena dilihat dari grafik.
Larutan PGA tidak dapat diketahui jenis larutan Newton atau Non-Newton karena nilai viskositasnya tidak diketahui dengan menggunakan alat Brookfield.
Semakin tinggi bobot jenis, maka waktu tempuh bola semakin kecil.
Semakin tinggi nilai kecepatan putar (rpm), maka viskositas semakin besar.
Semakin besar spindle, maka kecepatan putar semakin lambat.
Sifat aliran pada PGA adalah aliran plastic.
Sifat aliran CMC adalah aliran dilatan.












Daftar Pustaka

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Lecture Note “Rheologi ” by Dr. rer.nat. Sundani Nurono Soewandhi, School of Pharmacy ITB.
Astuti, K.W., M.P. Susanti, I.M.A.G. Wirasuta, dan I.N.K. Widjaja. 2007.“Petunjuk PraktikumFarmasi Fisik”. Jimbaran : Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu PengetahuanAlam Univesitas Udayana.
http://farmasiforyou.wordpress.com/2011/04/30/rheologi/ diakses pada tanggal 13 mei 2011.

laporan kelarutan

Modul 1
Kelarutan


TUJUAN PERCOBAAN
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu, untuk :
Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat aktif.
Menentukan usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kelarutan suatu zat.

LANDASAN TEORI
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Contohnya adalah etanol di dalam air. Sifat ini dalam bahasa Inggris lebih tepatnya disebut miscible. Melarut tidaknya suatu zat dalam suatu sistem tertentu dan besarnya kelarutan, sebagian besar tergantung pada sifat serta intensitas kekuatan yang ada pada zat terlarut-pelarut dan resultan interaksi zat terlarut-pelarut.
Dalam besaran kuantitatif kelarutan didefinisikan sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen. Suatu larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di bawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan yang sempurna pada temperatur tertentu. Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam keadaan setimbang dengan fase padat. Sedangkan larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi lebih banyak dari yang seharusnya pada temperatur tertentu terdapat juga zat terlarut yang tidak larut, keadaan lewat jenuh mungkin terjadi apabila inti kecil zat terlarut yang dibutuhkan untuk pembentukan kristal permulaan lebih mudah larut daripada kristal besar, sehingga menyebabkan sulitnya inti terbentuk dan tumbuh dengan akibat kegagalan kristalisasi. Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia zat terlarut dan pelarut, selain itu dipengaruhi pula oleh faktor temperatur, tekanan, pH larutan dan untuk jumlah yang lebih kecil bergantung pada terbaginya zat terlarut (Martin dkk, 1993).
Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa cara, menurut U.S Pharmacopea dan National Formulary, kelarutan dinyatakan sebagai jumlah dalam mililiter(ml) pelarut(solven) dimana akan larut 1 gram zat terlarut(solut). Secara kuantitatif kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut (solut) di dalam larutan (solven) pada suhu dan tekanan tertentu. Satuan bagi kelarutan dapat berupa molaritas, molalitas dan persentase. Untuk zat yang kelarutannya tidak diketahui secara pasti, harga kelarutannya digambarkan dengan menggunakan istilah umum tertentu seperti table berikut.
Istilah Bagian pelarut yang dibutuhkan untuk 1 Bagian Zat Terlarut
Sangat mudah larut Kurang dari 1 bagian pelarut.
Mudah larut 1 - 10 bagian pelarut.
Larut 10 – 30 bagian pelarut.
Agak sukar larut 30 – 100 bagian pelarut.
Sukar larut 100 – 1.000 bagian pelarut.
Sangat sukar larut 1.000 – 10.000 bagian pellarut.
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000 bagian pelarut.
Dalam formulasi sediaan-sediaan farmasi, data kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui , karena sediaan cair atau likuida seperti sirup, eliksir, obat tetes mata, injeksi, dan lain-lain dibuat dengan menggunakan pembawa air. Bahkan untuk sediaan solida seperti tablet atau kapsul, data kelarutan sangat penting untuk memperhitungkan kemampuan atau kecepatan absorbsi dalam saluran cerna. Oleh karena itu salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu sediaan dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya di dalam air.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan, adalah
pH
Zat aktif yang digunakan dalam sediaan farmasi pada umumnya bersifat asam dan basa lemah. Kelarutan suatu zat asam atau basalemah sangat dipengaruhi pH. Untuk menjamin suatu larutan homogen yang jernih dan keefektifan terapi maksimumnya, maka pembuatan sediaan farmasi harus disesuaikan dengan pH optimumnya.
Kelarutan asam-asam lemah akan meningkat dengan meningkatnya pH larutan, karena berbentuk garam yang mudah larut. Sedangkan kelarutan basa-basa lemah akan brtambah dengan menurunnya pH larutan.
Hubungan antara pH dengan kelarutan asam dan basa lemah, digambarkan melalui persamaan berikut:
HA padat HA larut
HA lar + H2O H3O + A-↔H3O+A-


Untuk asam lemah :
pHp = pKa + log (s-so)/so
untuk basa lemah :
pHp = pKa – pKb+ log (s-so)/so
Dimana, masing-masing adalah
pHp : Harga pH terendah/ tertinggi dan pada pH tersebut asam atau basa lemah masih dapat larut. Dibawah atau diatas pH tersebut, zat akan mengendap sebagai asam atau basa lemah yang tidak terdisosiasi.
So : Kelarutan molar fraksi yang tidak terdisosiasi.
S : Konsentrasi molar zat dalamlarutan baik dalam bentuk terionisasi (A) atau tidak terionisasi (HA)
2. Suhu
Kenaikan temperature akan meningkatkan kelarutan zat yang proses melarutnya melalui penyerpan panas/kalor (reaksi endotermik), dan akan menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran panas/kalor(reaksi eksotermik).
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada suhu larutan, titik leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut.
Pengaruh suhu terhadap kelarutan zat dalam larutan ideal mengikuti persamaan Vant Hoff, yaitu sebagai berikut:
{-log x_2^1= ∆Tf/(2.303.R) x (T0-T)/(T0.T) }
Dimana, masing – masing adalah :
x_2^1 = kelarutan ideal dalam fraksi mol
T = suhu mutlak larutan
To = titik leleh zat dalam suhu mutlak
∆Tf = panas peleburan
R = konstanta gas
Persamaan diatas tidak berlaku pada kondisi dimana T>TO, yang berat suhu larutan diatas titik leleh zat terlarut, karena pada kondisi tersebut zat terlarut akan tercampur dengan pelarut dalam setiap perbandingan.
Jenis Pelarut dan Konstanta Dielektrik.
Polaritas pelarut sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat . Pelarut polar akan melarutkan zat-zat polar dan ionik, hal ini disebabkan tetapan dielektrik pelarut polar yang tinggi sehingga dapat dengan mudah melarutkan zat-zat yang memiliki tetapan dielektrik yang hampir sama/ mendekati. Sedangkan zat yang bersifat nonpolar sukar larut didalamnya.
Pelarut polar bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme, sebagai berikut:
Mengurangi gaya tarik antara ion berlawanana dalam kristal
Memecah ikatan kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini bersifat amfiprotik
Membentuk ikatan hidrogen dengan zat trelarut
Pelarut nonpolar memiliki konstanta dielektrik yang rendah, sehingga dapat melarutkan zat-zat yang besifat nonpolar. Pelarut nonpolar melarutkan zat-zat nonpolar dengan tekanan internal yang sama melalui induksi antaraksi dipol.
Besarnnya konstanta dielektrik pelarut dapat diatur dengan menambahkan pelarut lain. Konstanta dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari konstanta dielektrik masing-masing pelarut setelah dikalikan dengan presentase volume masing-masing komponen pelarut.
Fenomena dimana suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut campur daripada pelarut tunggalnya dikenal dengan fenomena dengan fenomena co-solvency. Pelarut-pelarut yang umum digunakan dalam bidang farmasi sebagai pelarut campur(cosolvent) terutama dalam pembuatan eliksir adalah air, etanol, gliserin dan propilan glikol.
Bentuk dan ukuran Partikel Zat Terlarut
Ukuran partikel dapat mempengaruhi kelarutan , karena semakin kecil partikel, rasio antara luas permukaan dan volume meningkat. Meningkatnya luas permukaan memungkinkan interaksi antara solut dan solvent lebih besar. Pengaruh ukuran partikel terhadap kelarutan digambarkan dalam persamaan berikut.
log S/(So ) = (2.γ.V)/(2,303.R.T.r)
Dengan demikian semakin besar ukuran molekul, maka semakin berkurang kelarutan suatu senyawa. Walaupun demikian pengaruh ukuran partikel terhadap kelarutan tidak akan terlihat dengan jelas, kecuali bila ukuran partikel obat direduksi menjadi ukuran mikro.
Adanya zat lain
Penambahan zat lain yang mempengaruhi kelarutan diantaranya adalah ion sejenis dan penambahan surfaktan. Ion sejenis akan memurunkan kelarutan senyawa elektrolit yang non polar, karena mempengarui harga ksp.
Surfaktan merupakan molekul ampifil yang mengendung gugus polar dan non polar. Pada konsentrasi rendah dalam suatu larutan akan berada pada permukaan / antarmuka larutan dan memberikan efek menurunkan tegangan permukaan. Pada konsentrasi diatas KMKakan membentuk misel yang berperan dalam solubilisasi miselar. Solubilisasi miselar adalah suatu pelarut spontan yang terjadi pada molekul zat yang sukar larut air melelui interaksi yang irreversible dengan misel pada surfaktan sehingga membentuk suatu larutan yang strabil secara termodinamika.
Cara Meningkatkan Kelarutan
Kelarutan suatu zat (solut) dapat ditingkatkan dengan berbagai cara, antara lain:
1.) Pembentukan Kompleks
Gaya antar molekuler yang terlibat dalam pembentukan kompleks adalah gaya van der waals dari dispersi, dipolar dan tipe dipolar diinduksi. Ikatan hidrogen memberikan gaya yang bermakna dalam beberapa kompleks molekuler dan kovalen koordinat penting dalam beberapa kompleks logam. Salah satu faktor yang penting dalam pembentukan kompleks molekuler adalah persyaratan ruang. Jika pendekatan dan asosiasi yang dekat dari molekul donor dan molekul akseptor dihalangi oleh faktor ruang, kompleks akan atau mungkin berbentuk ikatan hidrogen dan pengaruh lain harus dipertimbangkan. Polietilen glikol, polistirena, karboksimetil-selulosa dan polimer sejenis yang mengandung oksigen nukleofilik dapat berbentuk kompleks dengan berbagai obat. Semakin stabil kompleks organik molekuler yang terbentuk, makin besar reservoir obat yang tersedia untuk pelepasan. Suatu kompleks yang stabil menghasilkan laju pelepasan awal yang lambat dan membutuhkan waktu yang lama untuk pelepasan sempurna (Martin dkk, 1993).
Cara ini membuat pentingnya pembuatan kompleks molekuler. Dibawah kompleks ini diartikan senyawa yang antara lain terbentuk melalui jembatan hidrogen atau gaya dipol-dipol, juga melalui antar aksi hidrofob antar bahan obat yang berlainan seperti juga bahan obat dan bahan pembantu yang dipilih. Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu perubahan sifat yang lebih penting dari bahan obat, seperti ketetapan dan daya resorbsinya, sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu pengujian yang cermat dan cocok. Pembentukan kompleks sekarang banyak dijumpai penggunaannya untuk perbaikan kelarutan, akan tetapi dalam kasus lain juga dapat menyebabkan suatu perlambatan kelarutan.
2.) Penambahan Kosolven
Kosolven adalah pelarut yang ditambahkan dalam suatu sistem untuk membantu melarutkan atau meningkatkan stabilitas dari suatu zat, cara ini disebut kosolvensi. Cara ini cukup potensial dan sederhana dibanding beberapa cara lain yang digunakan untuk meningkatkan kelarutan dan stabilitas suatu bahan. Penggunaan kosolven dapat mempengaruhi polaritas sistem, yang dapat ditunjukkan dengan pengubahan tetapan dielektrikanya.
Kosolven seperti etanol, propilen glikol, polietilen glikol dan glikofural telah rutin digunakan sebagai zat untuk meningkatkan kelarutan obat dalam larutan pembawa berair. Pada beberapa kasus, penggunaan kosolven yang tepat dapat meningkatkan kelarutan obat hingga beberapa kali lipat, namun bisa juga peningkatan kelarutannya sangat kecil, bahkan dalam beberapa kasus penggunaan kosolven dapat menurunkan kelarutan solut dalam larutan berair. Efek peningkatan kelarutan terutama disebabkan oleh polaritas obat terhadap solven (air) dan kosolven. Pemilihan sistem kosolven yang tepat dapat menjamin kelarutan semua komponen dalam formulasi dan meminimalkan resiko pengendapan karena pendinginan atau pengenceran oleh cairan darah. Akibatnya, hal ini akan mengurangi iritasi jaringan pada tempat administrasi obat.
3.) Penambahan Surfaktan
Surfaktan atau zat aktif permukaan adalah molekul yang struktur kimianya terdiri dari dua bagian dan mempunyai perbedaan afinitas terhadap berbagai pelarut yaitu bagian hidrofobik dan hidrofilik. Bagian hidrofobik terdiri dari rantai panjang hidrokarbon terhalogenasi atau teroksigenasi, bagian ini mempunyai afinitas terhadap minyak atau pelarut non polar, sedangkan bagian hidrofilik dapat berupa ion, gugus polar, atau gugus-gugus yang larut dalam air. Oleh karena itu surfaktan seringkali disebut ampifil karena mempunyai afinitas tertentu baik terhadap pelarut polar maupun non polar. Surfaktan secara dominan terhadap hidrofilik, hidrofobik atau berada di antara minyak air. Ampifilik merupakan sifat dari surfaktan yang menyebabkan zat terabsorpsi pada antarmuka, apakah cair/gas, atau cair/cair. Agar surfaktan terpusat pada antarmuka, harus diimbangi dengan jumlah gugus-gugus yang larut air dan minyak. Bila molekul terlalu hidrofilik atau hidrofobik maka tidak akan memberikan efek pada antarmuka. Adsorpsi molekul surfaktan di permukaan cairan akan menurunkan tegangan permukaan dan adsorpsi di antara cairan akan menurunkan tegangan antarmuka.
Penggunaan surfaktan pada kadar yang lebih tinggi akan berkumpul membentuk agregat yang disebut misel. Selain itu pada pemakaiannya dengan kadar tinggi sampai Critical Micelle Concentration (CMC) surfaktan diasumsikan mampu berinteraksi kompleks dengan obat tertentu selanjutnya dapat pula mempengaruhi permeabilitas membran tempat absorbsi obat karena surfaktan dan membran mengandung komponen penyusun yang sama. Sifat terpenting misel adalah kemampuannya untuk menaikkan kelarutan zat-zat yang biasanya sukar larut atau sedikit larut dalam pelarut yang digunakan. Proses ini disebut solubilisasi yang terbentuk antara molekul zat yang larut berasosiasi dengan misel surfaktan membentuk larutan yang jernih dan stabil secara termodinamika.
Tegangan permukaan adalah gaya persatuan panjang yang harus diberikan sejajar dengan permukaan cairan untuk mengimbangi tarikan ke dalam. Tegangan antarmuka adalah gaya persatuan panjang yang terdapat antarmuka dua fase cair yang tidak bercampur, dan seperti tegangan permukaan mempunyai satuan dyne/cm. Tegangan antarmuka selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan karena gaya adhesif antar dua fase cair yang membentuk suatu antarmuka adalah lebih besar daripada bila suatu fase cair dan suatu fase gas berada bersama-sama. Apabila dua cairan bercampur dengan sempurna, tidak ada tegangan antarmuka yang terjadi. Surfaktan terbagi menjadi :
a. surfaktan anionik
Surfaktan yang larut dalam air dan berionisasi menjadi ion negatif dan ion positif. Ion negatif bertindak sebagai surfaktan misalnya Natrium lauril sulfat.
b. surfaktan kationik
Surfaktan yang larut dalam air, berionisasi menjadi ion negatif dan ion positif. Ion postif bertindak sebagai surfaktan, misalnya N-setil n-etil morfolium etosulfat.
c. surfaktan amfoter
Surfaktan yang molekulnya bersifat amfoter, misalnya : Asil aminopropiona, Imidazolinum betaine.
d. surfaktan nonionik
Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang larut dalam air tetapi tidak berionisasi, misalnya : tween dan span (Martin dkk, 1993).
MONOGRAFI ZAT AKTIF
Zat aktif yang digunakan pada saat praktikum adalahAsam Salisilat, dengan monografi sebagai berikut (Farmakope Indonesia, Ed. IV, 1995. Hal 51) :

ACIDUM SALICYLICUM
Asam Salisilat



C7H6O3 BM 138,12
Asam Salisialat mengandung tidak kurang dari 99,5 % dan tidak lebih dari 101,0 % C7H6O3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian :
Hablur putih; biasanya berbentuk jarum halus atau serbuk hablur halus putih; rasa agak manis, tajam dan stabil di udara. Bentuk sintetis warna putih dan tidak berbau. Jika dibuat dari metil salisilat alami dapat berwarna kekuningan atau merah jambu dan berbau lemah mirip mentol.
Kelarutan :
Sukar larut dalm air dan dalam benzena; mudah larut dalam etanol dan dalam eter; larut dalam air mendidih; agak sukar larut dalam kloroform.
Identifikasi umum salisilat:
Tambahkan Besi (III) klorida LP ke dalam larutan encer : terjadi warna ungu.
Tambahkan asam ke dalam larutan pekat; terbentuk endapan hablur putih asam salisilat yang melebur pada suhu antara 198o dan 161o.

Penetapan kadar :
Timbang seksama lebih kurang 500mg, larutkan dalam 25ml etanol encer P yang sudah dinetralkan dengan natrium hidroksida 0,1 N, tambahkan fenolftalein LP dan titrasi dengan natrium hidroksida 0,1 N.
1 ml natrium hodroksida 0,1 N setara dengan 13,81 mg C7H6O3 .
Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat dan penggunaan Keratolitikum, antifungi.

ALAT DAN BAHAN
Alat : Bahan :
Bejana Air suling
Erlenmeyer Asam salisilat
Pipet volum Indikator fenolftalein
Buret NaOH 1N
Gelas ukur Larutan dapar phosfat pH 4,5,6,& 7
Pengocok orbital Tween 80

PROSEDUR KERJA
Pengaruh Pelarut Campur (Cosolven) Terhadap Kelarutan suatu Zat
Dibuat pelarut campur dengan komposisi sebagai berikut:
Air (%v/v) Alkohol (%v/v) Propilen glikol (%v/v)
60 20 15
60 30 10
60 35 5
60 40 0

Ambil 50 ml campuran, lalu larutkan 1 gr asam salisilat kedalam masing-masing campuran pelarut
Kocok larutan dengan menggunakan pengocok orbotal selama 1 jam. Jika ada endapan yang terlarut selama pengocokan, tambahkan tertentu sejumlah asam salisilat sampai kondisi kembali jenuh.
Saring larutan, lalu tentukan kadar asam salisilat terlarut dangan titrasu asam basa menggunakan indikator fenolftalin dan penitir NaOH 0,1 N.
Buatlah kurva antara kelarutan asam salisilat dengan konstanta dielektrik campuran pelarut.
Pengaruh Penambahan Surfaktan Terhadap Kelarutan Suatu Zat
Buatlah 20 ml larutan seri yang mengadung Tween 80 deengan konsentrasi:
((0,4|0,8|4,0│10,0)mg tween 80)/(100 ml air)
kemudian tambahkan 1 gr asam salisilat kedalam sitiap komposisi pelarut.
Kocok larutan dengan menggunakan pengocok orbotal selama 1 jam. Jika ada endapan yang terlarut selama pengocokan, tambahkan tertentu sejumlah asam salisilat sampai kondisi kembali jenuh.
Saring larutan, lalu tentukan kadar asam salisilat terlarut dangan titrasu asam basa menggunakan indikator fenolftalin dan penitir NaOH 0,1 N.
Buatlah kurva antara kelarutan asam salisilat dengan konsentrasi survaktan, serta tentukan KMK (konsentrasi misel kritis) Tween 80.

Pengaruh ph Terhadap Kelarutan Suatu Zat
Buatlah 100 ml larutan dapar fosfat dengan ph 4, 5, 6, 7.

Ambil 25 ml dari setiap larutan, lalu tambahkan 0,5 mg asam salisilat.
Kocok larutan dengan menggunakan pengocok orbotal selama 1 jam. Jika ada endapan yang terlarut selama pengocokan, tambahkan tertentu sejumlah asam salisilat sampai kondisi kembali jenuh.
Saring larutan, lalu tentukan kadar asam salisilat terlarut dangan titrasu asam basa menggunakan indikator fenolftalin dan penitir NaOH 1N.
Buatlah kurva hubungan antara konsentrasi zat dengan ph larutan yang diperoleh.

PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN BAHAN
PERHITUNGAN
Pelarut Campur (Cosolvent)
Kd campur1 =(% air x Kd air)+(% alkohol x Kd alkohol)+(% PEG x Kd PEG)
=(% 60 x 80)+(% 20 x 20)+(% 20 x 50)
= 62

Kd campur2 =(% air x Kd air)+(% alkohol x Kd alkohol)+(% PEG x Kd PEG)
=(% 60 x 80)+(% 30 x 20)+(% 10 x 50)
= 59

Kd campur3 =(% air x Kd air)+(% alkohol x Kd alkohol)+(% PEG x Kd PEG)
=(% 60 x 80)+(% 35 x 20)+(% 5 x 50)
= 57,5

Kd campur4=(% air x Kd air)+(% alkohol x Kd alkohol)+(% PEG x Kd PEG)
=(% 60 x 80)+(% 40 x 20)+(% 0 x 50)
= 56






PENIMBANGAN BAHAN
Pengaruh Penambahan Surfaktan Terhadap Kelarutan Suatu Zat
1 tetes tween 80 = (20 mg tween 80)/(100 ml air)
Ket: 1 tetes tween diencerkan dg air dalam labu sampai 100 ml
1.) Perhitungan volume yang diambil dari larutan stok
M1 = Konsentrasi tween stok ((20 mg)/(100 ml ))
M2 = Konsentrasi tween yang diinginkan
V1 = Volume yang diambil dari larutan stok
V2 = Volume diencerkan sampai batas yang ditentukan (50 ml air)
Labu Takar 1
M1 x V1 = M2 x V2
(20 mg)/(100 ml) x V1 = (0,6 mg)/(100 ml) x 50 ml
V1 = 1,5 ml

Labu Takar 2
M1 x V1 = M2 x V2
(20 mg)/(100 ml) x V1 = (2 mg)/(100 ml) x 50 ml
V1 = 5 ml
Labu Takar 3
M1 x V1 = M2 x V2
(20 mg)/(100 ml) x V1 = 6mg/(100 ml) x 50 ml
V1 = 15 m
Labu Takar 4
M1 x V1 = M2 x V2
(20 mg)/(100 ml) x V1 = (10 mg)/(100 ml) x 50 ml
V1 = (50 ml x 10 mg)/(20 mg)
V1 = 25,0 ml

HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
HASIL PENGAMATAN
Pengaruh Pelarut Campur (Cosolvent) Terhadap Kelarutan suatu Zat
Perbandingan Cosolvent Konstanta Dielektrik Volume NaOH (ml) Kadar Asam Salisilat
Air Alkohol PEG
60 20 20 62 64,6 0,129
60 30 10 59 74,5 0,149
60 35 5 57,5 79,5 0,159
60 40 0 56 Tumpah -

Pengaruh Penambahan Surfaktan Terhadap Kelarutan suatu Zat
Konsentrasi Tween 80 (ml) Volume NaOH (ml) Kadar Asam Salisilat
0,6 8 0,016
2 8 0,016
6 11 0,022
10 12 0,024



Pengaruh pH Terhadap Kelarutan suatu Zat
pH Volume NaOH (ml) Kadar Asam Salisilat
4 2,5 0,1 N
5 3,2 0,128 N
6 4 0,16 N
7 5,7 0, 228 N

PERHITUNGAN
Pengaruh Pelarut Campur (Cosolvent) Terhadap Kelarutan suatu Zat
C1  V1N1 =V2N2
50 ml x N1=64,6 ml x 0,1 N
N1 = 0, 1292 N

C2  V1N1 =V2N2
50 ml x N1=74, 5 ml x 0,1 N
N1 = 0, 149 N

C3  V1N1 =V2N2
50 ml x N1=79, 5 ml x 0,1 N
N1 = 0,159 N

Pengaruh Penambahan Surfaktan Terhadap Kelarutan suatu Zat
C1  V1N1 =V2N2
50 ml x N1=8 ml x 0,1 N
N1 = 0, 016 N

C2  V1N1 =V2N2
50 ml x N1=8ml x 0,1 N
N1 = 0, 016 N
C3  V1N1=V2N2
50 ml x N1= 11 ml x 0,1 N
N1 = 0, 022 N

C4  V1N1=V2N2
50 ml x N1=12 ml x 0,1 N
N1 = 0,024 N

Pengaruh pH Terhadap Kelarutan suatu Zat
C1  V1N1 =V2N2
25 ml x N1=2,5 ml x 1 N
N1= 0,1 N

C2  1N1 =V2N2
25 ml x N1=3,2 ml x 1 N
N1= 0,128 N
C3  V1N1 =V2N2
25 ml x N1=4 ml x 1 N
N1= 0,16 N

C4  V1N1 =V2N2
25 ml x N1= 5, 7ml x 1 N
N1= 0, 228 N












PEMBAHASAN
Kelarutan merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu proses formulasi sediaan obat. Pada sediaan liquida, data kelarutan juga sangat diperlukan karena sediaan tersebut memerlukan suatu pembawa cair..
pada sediaan tablet data kelarutan sangat penting untuk memperkirakan kecepatan absorpsi obat dalam saluran cerna. Dan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu obat (zat aktif) di dalam tubuh khususnya
Pengaruh Pelarut Campuran (cosolven)Terhadap Kelarutan Suatu Zat
Cosolvensi adalah suatu peristiwa dimana suatu zat lebih mudah larut didalam pelarut gabungan dibandingkan dengan pelarut tunggal. Hal tersebut dikarenakan pengaruh nilai konstanta dieletrik. Konstanta dielektrik pelarut harus mendekati nilai konstanta dielektrik zat, agar zat tersebut mudah melarut. Sehingga digunakan pelarut campuran agar didapat nilai konstanta dielektrik pelarut yang mendekati nilai konstanta dielektrik zat.
Pada praktikum kali ini digunakan pelarut campuran air, alkohol dan propilen glikol dengan perbandingan yang berbeda-beda. Adapun pengaruhnya dapat dilihat pada grafik berikut:


Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai kontanta dielektrik suatu campuran, maka kelarutan asam salisilat juga meningkat. Sehingga dari hasil percobaan cosolveb yang paling baik untuk melarutkan asam salisilat adalah dengan perbandingan air : alkohol : PEG yaitu 60 : 20 : 20 dengan konstanta dielektrik 62.

Pengaruh Penambahan Surfaktan Terhadap Kelarutan Suatu Zat
Surfaktan adalah zat aktif permukaan yang diserap pada permukaan untuk menurunkan tegangan permukaan zat sampai dengan titik KMK. Titik KMK adalah titik dimana penambahan surfaktan tidak lagi mempengaruhi tegangan permukaan.
Setelah dilalui titik KMK maka penambahan surfaktan berpengaruh terhadap solubilisasi miselar dimana pada keadaan ini akan terjadi pelarutan spontan zat melalui interaksi misel dan surfaktan sehingga terbentuk suatu larutan yang stabil secara termodinamika.
Pada percobaan kali ini, digunakan surfaktan tween 8o dengan konsntrasi berbeda-beda. Adapun pengaruhnya dapat dilihat dari grafik berikut:



Dari grafik diatas, dapat dilihat nilai KMK terjadi pada saat konsentrasi surfaktan 2 g/100 ml. Awalnya grafik konstan sampai titik KMK, dan setelah titik KMK dilalui, maka grafik akan naik. Hal tersebut terjadi karena surfaktan tidak lagi berperan dalam penurunan tegangan permukaan, tetapi berpengaruh dalam proses solubilisasi miselar.
Pengaruh pH Terhadap Kelarutan Suatu Zat
Salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah pH. Hal ini karena reaksi asam basa yang terjadi dari asam salisilat dan NaOH dan akan membentuk garam. Sehingga asam salisilat dapat terionisasi dan menjadi mudah larut.
Asam salisilat merupakan zat yang bersifat asam, sehingga kelarutannya akan meningkat seiring dengan peningkatan pH. Adapun hasil dari percobaan dapat dilihat dari grafik berikut:

Dari grafik diatas, dapat dilihat bahwa hasil percobaan menunjukkan kesamaan dengan literatur, dimana semakin tinggi nilai pH, maka kelarutan asam salisilat akan meningkat.

KESIMPULAN
Kecepatan pengadukan suatu larutan, mempengaruhi tingkat kelarutan suatu zat. Semakin tinggi proses pengadukan, semakin tinggi tigkat kelarutannya
Penambahan ion sejenis menurukan tingkat kelarutan , sedangkan penambahan surfaktan meningkatkan kelarutan suatu zat.
Semakin tinggi nilai konstanta dielektrik, maka kelarutan zat semakin meningkat.
Konsentrasi asam salisilat yang paling tinggi, didapat dengan gabungan pelarut air: alkohol: PEG adalah 60:20:20 dengan konstanta dielektrik adalah 62.
Semakin tinggi konsentrasi surfaktan, maka kelarutan semakin meningkat karena terjadi proses solubilisasi miselar.
Titik KMK terjadi pada saat konsentrasi surfaktan 2 g/100 ml.
Kelarutan asam salisilat meningkat seiring dengan peningkatan pH.
DAFTAR PUSTAKA

Martin, A et.al. 1993. Farmasi Fisika. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI.
Hudayana, yasser. 2010. Faktor yang mempengaruhi kelarutan. http://akmsmkn1pas.blogspot.com/2010/05/faktor-faktor-yang-mempengaruhi. html