Modul 6
KECEPATAN DISOLUSI
TUJUAN PERCOBAAN
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu, untuk :
Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat
Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
Menggunakan alat penentu kecepatan disolusi
LANDASAN TEORI
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Dalam Bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau kelarutan sangat diperlukan untuk membantu memilih medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetis (di bidang farmasi), dan lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian.
Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U. S. Pharmacopeia dan National Formulary, definisi kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut dimana akan larut 1 gram zat terlarut (Martin, 1990). Sediaan obat yang diberikan secara oral di dalam saluran cerna harus mengalami proses pelepasan dari sediaannya kemudian zat aktif akan melarut dan selanjutnya diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari sediaannya dan proses pelarutannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasi sediaannya. Salah satu sifat zat aktif yang penting untuk diperhatikan adalah kelarutan karena pada umumnya zat baru diabsorpsi setelah terlarut dalam cairan saluran cerna.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi.
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua tahap berturut-turut:
Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film disekitar partikel
Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair. tahap pertama, larutan berlangsung sangat singkat. tahap kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.
Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul- molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat, larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membran biologis serta absorpsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorpsi tersebut berlanjut. Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorpsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorpsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorpsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorpsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorpsi setelah pemberian oral, karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus.
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet.
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya zat aktif yang dapat terlarut persatuan waktu. Kecepatan disolusi merupakan suatu faktor penting yang menentukan seberapa besar suatu bahan aktif dapat diabsorpsi oleh tubuh.
Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Proses pelarutan zat ini dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut:
[dM/dt={((D.S)/h).(Cs-C) } ]
Dimana :
dM/dt = Kecepatan disolusi
D = Koefisien Difusi
S = Luas Permukaan Zat
Cs = Kelarutan zat padat
C = Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu t
h = tebal lapisan difusi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat antara lain :
Suhu; Dengan semakin meningginya suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.
Viskositas; Turunnya viskositas suatu pelarut, juga akan memperbesar kelarutan suatu zat.
PH pelarut; pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam (pH rendah) sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa (pH tinggi). Berikut persamaan untuk masing-masing senyawa, adalah:
Asam lemah :
[dC/dt=K.S.Cs(1+Ka/(H+)) ]
Basa Lemah :
[dC/dt=K.S.Cs(1+(H+)/Ka) ]
Ukuran partikel; Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat.
Polimorfisme dan sifat permukaan zat; Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya polimorfisme seperti struktur internal zat yang berlainan akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
Sifat fisika kimia obat yaitu sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut.
Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Bentuk kristal obat; Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal.
Faktor formulasi adalah berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.
Faktor alat dan kondisi lingkungan yaitu adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat.
Kecepatan pengadukan; Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
Metode uji kecepatan disolusidapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
Metode Keranjang (Basket)
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37°C. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar.Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi (Agoes, 2008).
Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37°C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan.Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.
MONOGRAFI ZAT AKTIF
Zat aktif yang digunakan pada saat praktikum adalah Asam Salisilat, dengan monografi sebagai berikut (Farmakope Indonesia, Ed. III, 1979. Hal 56) :
ACIDUM SALICYLICUM
Asam Salisilat
C7H6O3 BM 138,12
Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% C7H6O3 .
Pemerian Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna putih; hampir tidak berbau; rasa agak manis dan tajam.
Kelarutan Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%); mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P; larut dalam larutan amonium asetat P, dinatrium hidrogenfosfat P, kalium sitrat P dan natrium sitrat P.
Penetapan kadar Timbang seksama 3g, larutkan dalam 15ml etanol (95%) P hangat yang telah dinetralkan terhadap larutan merah fenol P, tambahkan 20ml air. Titrasi dengan natrium hidroksida 0,5N menggunakan indikator merah fenol P.
1ml natrium hidroksida 0,5N ≈ 69,06mg C7H6O3
Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat dan penggunaan Keratolitikum, antifungi.
ALAT DAN BAHAN
Alat
Gelas ukur 100 ml
Thermostat
Neraca analitik
Spatula
Pipet
Bahan
Asam salisilat
Aquadest
Kertas saring
Phenolftalen
PERHITUNGAN DAN PENIMBANGAN
Penimbangan
Asam salisilat percobaan pertama : 2,08 gram
Asam salisilat percobaan kedua : 2,00 gram
Asam salisilat pada percobaan ketiga : 2,02 gram
Asam salisilat pada percobaan keempat :
Perhitungan
Perhitungan konsentrasi larutan
C = N1 . V1 = N2 .V2
Pada suhu 32ºC
C1= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2 )/20
= 0.005 M
C5 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 1 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 1)/20
= 0,oo25 M
C10 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 0,8 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 0,8)/20
= 0,002 M
C15 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,2)/20
= 0,0055 M
C20 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2)/20
= 0,005 M
C25 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,3 = N2 . 20
N_2=(0,05 x 2,3)/20
= 0,0058 M
C30 = N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,1 = N2 . 20
N_2=(0,05 x 2,1)/20
= 0,0053 M
Pada suhu 40ºC
C1= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 1,3 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 1,3 )/20
= 0,0033 M
C5= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,3 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,3 )/20
= 0,0058 M
C1o= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,5 )/20
= 0,0063 M
C15= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,7 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,7 )/20
= 0,0068 M
C20= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5,7 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5,7 )/20
= 0,0143 M
C25= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5,9 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5,9 )/20
= 0,0148 M
C30= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 7,8 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 7,8 )/20
= 0,0195 M
Pada kecepatan 100 rpm
C1= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 0,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 0,2 )/20
= 0,0005 M
C5= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 1,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 1,2 )/20
= 0,003 M
C10= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 2,5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 2,5 )/20
= 0,0063 M
C15= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 4,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 4,2 )/20
= 0,0105 M
C20= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5 )/20
= 0,0125 M
C25= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5,4 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5,4 )/20
= 0,0135 M
C30= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 6,3 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 6,3 )/20
= 0,0158 M
Pada kecepatan 150 rpm
C1= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 0,5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 0,5 )/20
= 0,00125 M
C5= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 3,7 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 3,7 )/20
= 0,00925 M
C10= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 3,8 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 3,8 )/20
= 0,0095 M
C15= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 4,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 4,2 )/20
= 0,0105 M
C20= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 4,8 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 4,8 )/20
= 0,012 M
C25= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 5 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 5 )/20
= 0,0125 M
C30= N2
N1 . V1 = N2 .V2
0,05 . 6,2 = N2 . 20
〖 N〗_2=(0,05 x 6,2 )/20
= 0,0155 M
Perhitungan nilai faktor koreksi (X)
Pada suhu 32ºC
1 menit = C1
5 menit
X_5=((C_5 x 900 )+(C_1 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=((0,0025 x 900 )+(0,005 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=(2,25+0,1)/900
X_5=0,0026
10 menit
X_10=((C_10 x 900 )+(X_5 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=((0,002 x 900 )+(0,0026 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=(1,8+0,052)/900
X_10=0,0021
15 menit
X_15=((C_15 x 900 )+(X_(10 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_15=((0,0055 x 900 )+(0,0021 x 20 mL))/(900 mL)
X_15=(4,95+0,042)/900
X_15=0,0055
20 menit
X_20=((C_20 x 900 )+(X_(15 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_20=((0,005 x 900 )+(0,0055 x 20 mL))/(900 mL)
X_20=(4,5+0,11)/900
X_20=0,0051
25 menit
X_25=((C_25 x 900 )+(X_(20 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_25=((0,0058 x 900 )+(0,0051 x 20 mL))/(900 mL)
X_25=(5,22+0,102)/900
X_25=0,0059
30 menit
X_30=((C_30 x 900 )+(X_(25 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_30=((0,0053 x 900 )+(0,0059 x 20 mL))/(900 mL)
X_30=(4,77+0,118)/900
X_30=0,0054
Pada suhu 40ºC
1 menit = C1
5 menit
X_5=((C_5 x 900 )+(C_(1 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_5=((0,0058 x 900 )+(0,0033 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=(5,22+0,066)/900
X_5=0,0059
10 menit
X_10=((C_10 x 900 )+(X_(5 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_10=((0,0063 x 900 )+(0,0059 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=(5,67+0,118)/900
X_10=0,0064
15 menit
X_15=((C_15 x 900 )+(X_(10 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_15=((0,0068 x 900 )+(0,0064 x 20 mL))/(900 mL)
X_15=(6,12+0,128)/900
X_15=0,0069
20 menit
X_20=((C_20 x 900 )+(X_(15 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_20=((0,0143 x 900 )+(0,0069 x 20 mL))/(900 mL)
X_20=(12,87+0,138)/900
X_20=0,0145
25 menit
X_25=((C_25 x 900 )+(X_(20 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_25=((0,0148 x 900 )+(0,0145 x 20 mL))/(900 mL)
X_25=(13,32+0,29)/900
X_25=0,015
30 menit
X_30=((C_30 x 900 )+(X_(25 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_30=((0,0195 x 900 )+(0,015 x 20 mL))/(900 mL)
X_30=(17,55+0,3)/900
X_30=0,0198
Pada kecepatan 100 rpm
1 menit = C1
5 menit
X_5=((C_5 x 900 )+(C_(1 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_5=((0,003 x 900 )+(0,0005 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=(2,7+0,01)/900
X_5=0,003
10 menit
X_10=((C_10 x 900 )+(X_(5 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_10=((0,0063 x 900 )+(0,003 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=(5,67+0,06)/900
X_10=0,0064
15 menit
X_15=((C_15 x 900 )+(X_(10 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_15=((0,0105 x 900 )+(0,0064 x 20 mL))/(900 mL)
X_15=(9,45+0,128)/900
X_15=0,0106
20 menit
X_20=((C_20 x 900 )+(X_(15 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_20=((0,0125 x 900 )+(0,0106 x 20 mL))/(900 mL)
X_20=(11,25+0,212)/900
X_20=0,0127
25 menit
X_25=((C_25 x 900 )+(X_(20 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_25=((0,0135 x 900 )+(0,0127 x 20 mL))/(900 mL)
X_25=(12,15+0,254)/900
X_25=0,0138
30 menit
X_30=((C_30 x 900 )+(X_(25 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_30=((0,0158 x 900 )+(0,0138 x 20 mL))/(900 mL)
X_30=(14,22+0,276)/900
X_30=0,016
Pada kecepatan 150 rpm
1 menit = C1
5 menit
X_5=((C_5 x 900 )+(C_(1 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_5=((0,00925 x 900 )+(0,00125 x 20 mL))/(900 mL)
X_5=(8,325+0,025)/900
X_5=0,00927
10 menit
X_10=((C_10 x 900 )+(X_(5 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_10=((0,0095 x 900 )+(0,00927 x 20 mL))/(900 mL)
X_10=(8,55+0,1854)/900
X_10=0,0097
15 menit
X_15=((C_15 x 900 )+(X_(10 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_15=((0,0105 x 900 )+(0,0097 x 20 mL))/(900 mL)
X_15=(9,45+0,194)/900
X_15=0,0107
20 menit
X_20=((C_20 x 900 )+(X_(15 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_20=((0,012 x 900 )+(0,0107 x 20 mL))/(900 mL)
X_20=(10,8+0,214)/900
X_20=0,012
25 menit
X_25=((C_25 x 900 )+(X_(20 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_25=((0,0125 x 900 )+(0,012 x 20 mL))/(900 mL)
X_25=(11,25+0,24)/900
X_25=0,0127
30 menit
X_30=((C_30 x 900 )+(X_(25 ) x 20 mL))/(900 mL)
X_30=((0,0155 x 900 )+(0,0127 x 20 mL))/(900 mL)
X_30=(13,95+0,254)/900
X_30=0,0158
PROSEDUR KERJA
Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Disolusi Zat
Bejana diisi dengan 900ml air suling
Thermostat dipasangkan pada suhu 30oC
Jika suhu air didalam bejana sudah mencapai 3ooC
Dimasukka 2 gram Asam salisilat
Motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 50 rpm
Diambil sebanyak 20ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25, 30 setelah pengadukan
Setelah selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20ml air suling
Ditentukan kada asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan metode titrasi asam basa menggunakan NaOH 0,05N dan indicator Fenolftalein
Dilakukan koreksi kosentrasi asam salisilat yang diperoleh setiap selang waktu pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan sampel dengan air suling
Dilakukan percobaan yang sama pada suhu 400C untuk melihat pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi
Ditabelkan hasil yang diperoleh
Dibuat kurva antara kosentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu
Pengaruh Kecepatan Pengadukan Terhadap Kecepatan Disolusi Zat
Bejana diisi dengan 900ml air suling
Thermostat dipasang pada suhu 300C
Jika suhu air didalam bejana sudah mencapai 300C
Dimasukka 2 gram Asam salisilat
Motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 50 rpm
Diambil sebanyak 20ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25, 30 setelah pengadukan
Setelah selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20ml air suling
Ditentukan kada asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan metode titrasi asam basa menggunakan NaOH 0,05N dan indicator Fenolftalein
Dilakukan koreksi kosentrasi asam salisilat yang diperoleh setiap selang waktu pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan sampel dengan air suling
Dilakukan percobaan yang sama dengan kecepatan pengadukan 100 rpm dan 150 rpm untuk melihat pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi
Ditabelkan hasil yang diperoleh
Dibuat kurva antara kosentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu
HASIL PENGAMATAN
Pengaruh Suhu Terhadap Kecepatan Disolusi Zat
t menit Volume NaOH Konsentrasi
asam salisilat Perubahan warna
320C 400C 320C 400C sebelum sesudah
1 2 mL 1,3 mL 0,005 M 0,0033 M Bening Merah Muda
5 1 mL 2,3 mL 0,0025 M 0,0058 M Bening Merah Muda
10 0,8 mL 2,5 mL 0,002 M 0,0063 M Bening Merah Muda
15 2,2 mL 2,7 mL 0,0055 M 0,0068 M Bening Merah Muda
20 2 mL 5,7 mL 0,005 M 0,0143 M Bening Merah Muda
25 2,3 mL 5,9 mL 0,0058 M 0,0148 M Bening Merah Muda
30 2,1 mL 7,8 mL 0,0053 M 0,0195 M Bening Merah Muda
Pengaruh Kecepatan Pengadukan Terhadap Kecepatan Disolusi Zat
t menit Volume NaOH konsentrasi
asam salisilat perubahan warna
100 rpm 150 rpm 100 rpm 150 rpm sebelum sesudah
1 0,2 mL 0,5 mL 0,0005 M 0,00125 M Bening merah muda
5 1,2 mL 3,7 mL 0,003 M 0,00925 M Bening merah muda
10 2,5 mL 3,8 mL 0,0063 M 0,0095 M Bening merah muda
15 4,2 mL 4,2 mL 0,0105 M 0,0105 M Bening merah muda
20 5,0 mL 4,8 mL 0,0125 M 0,012 M Bening merah muda
25 5,4 mL 5,0 mL 0,0135 M 0,0125 M Bening merah muda
30 6,3 mL 6,2 mL 0,0158 M 0,0155 M Bening merah muda
Kurva antara konsentrasi asam salisilat (C) dengan waktu (t)
Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi
Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi
PEMBAHASAN
Pada percobaan yang telah dilakukan, untuk menguji kecepatan disolusi menggunakan alat disolusi tipe 2 yaitu tipe dayung. Alat ini terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparans lain yang inert, suatu motor berbenetuk dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian rupa dan Berputar dengan halus tanpa goncangan yang berarti. Serbuk yang akan diuji dimasukkan kedalam wadah sebelum dayung mulai berputar dan atur kecepatan dan suhu yang diinginkan.
Gambar : alat disolusi tipe 2
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi diantaranya adalah suhu dan kecepatan pengadukan. Hal ini terbukti setelah kita melakukan percobaan. Pengujian kecepatan disolusi dilakukan terhadap asam salisilat dalam air. Rumus molekul adalah C7H6O3 dan rumus strukturnya sebagai berikut (Anonim c, 1979):
Dari rumus struktur di atas, terlihat bahwa asam salisilat memiliki gugus polar dan gugus nonpolar. Gugus polar dari asam salisilat adalah gugus –OH dan gugus nonpolar pada asam salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam salisilat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Namun, karena memiliki gugus polar dan nonpolar sekaligus dalam satu gugus, asam salisilat sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau pelarut nonpolar saja. Asam salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut polar dan benzena yang merupakan pelarut nonpolar, tetapi mudah larut pada etanol dan eter yang merupakan pelarut semipolar (Anonim a, 1995).
Proses penentuan kecepatan disolusi asam salisilat dalam air diawali dengan menimbang asam salisilat sebanyak 2 gram yang kemudian dimasukkan ke dalam beaker dan ditambahkan dengan 900 mL air suling. Beaker diletakkan di bawah shaker dan motor penggerak dinyalakan dengan kecepatan dan suhu tertentu. Larutan diambil sebanyak 20 mL pada menit ke-1,5, 15, 20, 25, dan 30. Setiap pengambilan 20 mL larutan dari beaker, diimbangi dengan penambahan 20 mL air suling ke dalam beaker agar volume larutan konstan.
Kadar asam salisilat yang larut ditentukan dengan titrasi menggunakan NaOH 0,05 N sebagai pentiter dan fenolftalein 1 tetes sebagai indikator. Pada titik akhir titrasi, warna larutan asam salisilat akan berubah dari bening menjadi merah muda. Pada titik akhir titrasi, jumlah mol asam salisilat sama dengan jumlah mol NaOH. Reaksi yang terjadi selama proses titrasi adalah sebagai berikut.
Asam Salisilat + NaOH Natrium Salisilat + H2O
Dalam persamaan Einstein, suhu akan mempengaruhi koefisien disolusi. Perubahan koefisien disolusi akan mengubah kecepatan disolusi. Pada percobaan ini, suhu yang digunakan adalah 32 0c dan 40 0c yang seharusnya digunakan adalah 30 0c dan 40 0c. Hal ini disebabkan karena lamanya suhu mencapai 30 0c dan terbatasnya waktu. Dalam percobaan ini terbukti bahwa konsentrasi asam salisilat lebih tinggi pada suhu 40 0c dibandingkan pada suhu 32 0c. Peningkatan suhu akan memperbesar harga koefisien disolusi sehingga meningkatkan kecepatan disolusi. Kenaikan suhu akan mengakibatkan peningkatan energi kinetik baik pelarut ataupun zat terlarut. Untuk zat dalam padatan, kenaikan suhu akan memperkecil kekuatan ikatan intermolekul sehingga molekul padatan lebih mudah terbebaskan ke dalam larutan. Energi kinetik zat pelarut yang semakin besar akan memperbesar kemungkinan tumbukan dengan molekul zat padatan yang ada dipermukaan padatan. Tumbukan ini dapat menimbulkan interaksi antara pelarut dan padatan, yaitu adanya tarik-menarik. Gaya tarik-menarik ini bisa menyebabkan molekul dalam padatan terbawa ke dalam larutan. Karena kemungkinan tumbukan semakin tinggi akibat kenaikan suhu, penarikan molekul padatan menuju larutan akan semakin tinggi intensitasnya.
Grafik pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi
Sedangkan pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi dibuktikan dengan menggunakan kecepatan pada motor 50 rpm, 100 rpm, dan 150 rpm. Dari ke-3 kecepatan tersebut, konsentrasi asam salisilat pada kecepatan 150 rpm memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan kecepatan 50 rpm dan 100 rpm tapi hanya pada menit ke-1 sampai 10. Hal ini disebabkan oleh selain kecepatan pengadukan juga dipengaruhi lamanya pengadukan. Hal ini disebabkan karena pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm, laju disolusi asam salisilat dalam air lambat sehingga waktu yang dipelukan untuk menjenuhkan asam salisilat lebih lama. Karenanya konsentrasi asam salisilat dalam air semakin lama semakin meningkat. Jika percobaan dilanjutkan, maka konsentrasi asam salisilat semakin lama akan meningkat hingga tercapai keadaan jenuh dan konsentrasinya akan tetap karena kelarutan asam salisilat dalam air tebatas. Pada pengadukan dengan kecepatan 150 rpm, konsentrasi asam salisilat dalam air tidak banyak mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan karena laju disolusi yang besar sehingga mempercepat tercapainya kondisi dimana asam salisilat telah jenuh sehingga konsentrasi asam salisilat tidak banyak mengalami peningkatan. Dari sini dapat dilihat bahwa semakin cepat pengadukan semakin besar laju disolusi, begitu pula semakin lama dilakukan pengadukan semakin besar pula laju disolusi.
Sedangkan pada kecepatan 50 rpm tidak mengalami peningkatan yang konstan bahkan kadang mengalami penurunan konsentrasi asam salisilat, disebabkan pada saat melakukan titrasi bergantian sehingga mempengaruhi hasil dari titrasi. Sedangkan pada suhu 40 0c, 100 rpm, dan 150 rpm, titrasi dilakukan oleh 1 praktikan dan hasilnya meningkat dengan konstan.
Grafik pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi
KESIMPULAN
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut.
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya zat aktif yang dapat larut persatuan waktu.
Beberapa hal yang mempengaruhi kecepatan disolusi, yaitu : kelarutan zat aktif, ukuran partikel, bentuk kristal obat, sifat permulaan zat, suhu, pH, viskositas, kecepatan pengadukan.
Faktor koreksi disolusi bertujuan untuk membendingkan nilai konsentrasi yang didapat sama dengan nilai koreksi.
Semakin tinggi suhu yang digunakan maka kecepatan disolusi semakin bertambah.
Semakin cepat kecepatan pengadukan yang digunakan, maka semakin cepat pula kecepatan disolusinya.
Rumus konsentrasi : V1 . N1 = V2 . N2
Rumus faktor koreksi (x) = (〖(C〗_m . 900)+(X_(n .) 20 mL))/(900 mL)
Pada suhu 40 0c menghasilkan nilai konsentrasi asam salisilat lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 32 0c.
Pengadukan dengan kecepatan 150 rpm menghasilkan konsentrasi asam salisilat yang lebih besar dibandingkan pada kecepatan 100 rpm karena pengadukan yang semakin cepat akan memperbesar laju disolusi.
Pada pengadukan dengan kecepatan 100 rpm, semakin lama pengadukan menghasilkan konsentrasi asam salisilat yang semakin besar karena semakin lama pengadukan, semakin besar pula laju disolusi.
Pada pengadukan dengan kecepatan 150 rpm, konsentrasi asam salisilat hanya mengalami peningkatan yang relatif tinggi pada menit ke-1, 5, dan 10, karena ada kemungkinan larutan asam salisilat yang terbentuk telah jenuh.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim a. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Anonim c. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Kedua. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I & II. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Ditjen POM, (1979), “ Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, hal. 56
http://khahyun.wordpress.com/2010/12/03/disolusi-obat/ diakses pada tanggal 06/05/2011
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19649/4/Chapter%20II. pdf diakses pada tanggal 06/05/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar